22. 7 hari yang ternyata aneh

13.4K 1.4K 131
                                    

Alarm jam setengah empat pagi milik Nia sudah berdering. Terletak tepat di sebelah kuping membuat dirinya langsung segera terlonjak bangun. Tidur semalam lelap sekali padahal perutnya sedang tidak enak rasa gara-gara hari pertama datang bulan. Entah apa yang membuat tidurnya nyenyak, lantas dia teringat bahwa tadi malam setelah ciuman panas dengan Garsa, dirinya diajak berpelukan bersama tidurnya sampai keduanya tertidur pulas.

Begitu Nia sadar gara-gara alarm, tangannya menggapai benda itu untuk segera mematikan sebelum Garsa ikutan terbangun padahal lelaki itu biasanya bangun jam 4 pagi.

Pagi ini Nia sengaja bangun pagi untuk memasak sesuatu sebagai bekal untuk mereka. Bu Karmi baru pulang tiba di rumah diperkirakan sekitar jam 6 atau set 7 pagi nanti. Hari ini Nia sudah kembali bekerja lagi di kantor cutinya sudah habis.

Usai mencuci muka di kamar mandi, dia keluar dari kamar. Saat sudah di lorong luar kamar  wanita itu melihat sebuah punggung berpiyama dengan kepala berambut pendek turun ke bawah. Mungkin itu Dista ingin mengambil air minum.

Mengira Dista butuh sesuatu terbangun sepagi ini, Nia mengejarnya turun ke bawah menuju dapur. Belum sampai menuju ke sana sudah melihat Genta sedang berdiri di depan dispenser memasak air panas sedangkan Dista berdiri di sisinya.

“Bikin susu? Kamu nggak tidur lagi habis Sholat Tahajud?” tanya Dista terlihat lebih santai dari biasanya yang galak. “Masih bisa tidur lagi, sampai nanti pagi cukup lama.”

“Aku nggak mau tidur lagi, mau belajar.” Genta merespons dengan nada yang juga sama santainya.

Nia menghela napas, kelegaannya terlepas begitu saja mengetahui pembicaraan mereka dengan respon yang sama-sama baik, tidak lagi pakai emosi bentak marah-marah main bersahutan.

“Nggak pusing? Kamu mau tes seleksi, nanti ngantuk dan sakit kepala kalo kurang tidur.”

“Enggak. Aku bukan tukang tidur, jam tidurku udah cukup bahkan kelebihan,” sahut Genta.

“Jangan gitu! Jangan forsir waktu kebanyakan buat belajar,” ucap Dista.

“Udah tahu. Omong-omong kamu ngapain terlalu pagi udah bangun?” Genta diam sesaat lalu bicara lagi, “enggak mungkin Sholat Tahajud.”

“Aku terbangun terus denger ada suara pintu kamar kamu kebuka. Aku takut nggak ada waktu lagi yang tepat untuk harus ngomong sesuatu sama kamu.”

Melihat keduanya sedang ngobrol membuat Nia enggan menganggu dengan kemunculan ini, sehingga sambil menunggu mereka ngobrol dia berdiri dari balik tembok. Inilah yang membuat lega karena mereka akan berbicara setelah keadaan sudah lebih tenang.

“Nggak usah pikirin lagi omonganku kemarin siang. Nggak usah peduli sama kemarahanku yang nggak suka kalo kamu mau lanjut ikut test itu. Seharusnya aku seneng kamu bakalan masuk kelas Aksel itu, Gent. Kamu kan pintar, aku akan selalu dukung langkah kamu.”

Nia ingin mengintip bagaimana reaksi Genta kala mendengar ucapan Dista yang sudah sadar diri itu. Pasti si cowok berwajah mirip robot itu masih tetap sedatar mungkin. Nia pernah melihat wajah Genta yang kesal dan sedih tadi pagi, tapi dia tak terlalu tahu bagaimana reaksi terkejutnya seorang Genta. Nia hanya pernah melihat sekilas saat Karel membicarakan kejadian Ghani yang melihat dirinya memakai baju aneh waktu itu. Daripada terkejut reaksinya lebih mirip orang yang bergidik geli.

Tidak lama baru ada suara Genta menyahuti, “Kamu melarang aku bakal tetap ikut tes seleksi kelas Aksel itu kali. Cuma aku takutnya kamu bakal marah dan aku dimusuhin seumur hidup,.”

“Untung kamu nggak bodoh apalagi nggak tegaan, cuma gara-gara mau membahagiakan aku sampai melepas mimpi dan tujuanmu. Sialnya, aku jadi tahu kalo kamu memang tega banget bahkan sama aku saudara dekatmu.”

CompromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang