BAB 7

35 27 16
                                    

"Makasih ya, sayang untuk hari ini dan hari-hari kemarin."Raka memeluk erat tubuh mungil Dira. Ia pamit pulang ke Surabaya setelah menyelesaikan makan dan sedikit bercerita. Ia juga tak bisa meninggalkan kedainya lama-lama.

"Dira juga makasih udah nyempetin dateng kesini."

"Aku langsung ke rumah ibu ya antar sedikit oleh-oleh."

"Nggak usah repot-repot, Kak."

"Nggak ada yang merasa direpotkan. Ya sudah, aku jalan dulu ya." Raka mencium kening Dira dan masuk ke mobil. Beberapa saat kemudian mobil Raka sudah tak terlihat.

Dua jam berlalu, Dira sedang tak ingin melakukan apa-apa di rumah. Hanya berdiam diri. Bercumbu dengan pikiran-pikiran yang membawanya pada sebuah harapan. Tentang Amar. Tak lama kemudian penglihatannya mulai redup, gelap. Ia terlelap. Kembali bermimpi dan berharap mimpi itu menjadi nyata.

Kringgg....... Dering hp Dira membuatnya terbangun. Dengan mata setengah mengantuk, ia mengambil hp yang berada di meja sebelah tempat tidur dan mengangkat telpon.

"Hallo."

"Hei."Suara Amar jelas terdengar ditelinga Dira.

"Eh, kenapa kak? Tumben banget nelpon."

"Kamu baru bangun?"

"Iya nih, Kak."

"Baiklah, nggak jadi."

"Kenapa woyyyyy."

"Hahhaa.. Cuma mau ngajak nyore sama popo, Dek."

"Tunggu. Dira mandi. 20 menit lagi jemput." Dira menutup telponnya dan bersiap. Amar tersenyum puas. Gesit sekali Dira.

Greentea latte ice dan hot latte menemani mereka sore ini. Tak lupa sekotak rokok yang juga menjadi saksi perbincangan mereka. Setelah kejadian minum wine kala itu, Amar maupun Dira tak pernah membicarakan tentang kekasih mereka. Di setiap pertemuan yang dibicarakan hanya tentang mereka, Amar sering mengulang cerita bagaimana awal mereka bertemu sampai saat ini, dan tiap kali menceritakan itu Dira jatuh cinta.

Tak terasa hari sudah mulai gelap, Amar mengantar Dira pulang. Sesampai di rumah Dira menyuruh Amar mampir. Padahal Dira hanya sekedar basa-basi, namun Amar mengiyakan. Kejadian serupa terjadi lagi. Bedanya kali ini tak ada sebotol wine yang menemani. Mereka melakukannya dengan sadar tanpa paksaan. Setelah semuanya terpenuhi, Amar kembali ke kos. Ia tak akan bisa menemani Dira di kontrakan, akan menjawab apa ia bila Milka menelpon. "Aku lupa kasih makan ikan, Dek. Aku pulang ya."Katanya. Namun Dira paham bahwa itu hanya alasan, sebenarnya Amar takut ketahuan Milka dan Dira hanya tersenyum.

Enam bulan berlalu tak ada kejelasan diantara mereka, mungkin dari awal memang tak akan diperjelas. Dira terlalu berekspektasi bahwa Amar juga menyukainya, ada sederet harapan-harapan. Tapi ia selalu menepis itu, ia berbicara pada dirinya sendiri bahwa ia hanya tak ingin melihat Amar kesepian, sendirian. Hanya itu. Nyatanya? Dira cemburu setiap kali mereka sedang bersama lalu Milka video call, Amar selalu menjauh pun setiap kali Milka menelpon, Amar meminta Dira untuk tak bersuara. Seakan tak ada. Dira hanya ingin dianggap dan dilihat. Tapi tak bisa, Dira tak bisa mengatakan bahwa ia cemburu. Karna ia yang memilih untuk tetap menjalani hubungan seperti ini.

Aku tak tau perasaan macam apa ini? Kenapa aku tak bisa untuk mengatakan tidak di setiap ajakan Amar? Kenapa aku cemburu melihat postingannya yang selalu tentang Milka? Kenapa aku juga sakit saat ia sakit? Aku ingin memilikinya, aku tak ingin perasaan cinta ini berubah menjadi obsesiku padanya, karena aku tau ia hanya mencintai Milka. Waktu itu mereka sempat putus beberapa hari, Amar uring-uringan. Tiap bertemu Dira ia menangis menceritakan kisahnya dan ingin Milka kembali, hati Dira perih saat itu dan ia sadar betapa Amar amat mencintai kekasihnya. Tapi kenapa aku terus menjadi penyembuh lukamu? Kenapa aku selalu ada saat kau butuhkan? Tidak bisakah kau juga melakukan hal yang sama?

Cinta itu memberi, harusnya aku hanya fokus memberikan yang terbaik sebisaku. Harusnya aku tak berharap apa yang aku lakukan akan dibalas dengan hal yang sama. Harusnya. Tapi aku juga manusia biasa, yang juga ingin dicintai oleh orang yang ku cintai.

 Dira menyadari bahwa Amar hanya ingin ditemani, ia juga tau Amar menghubunginya saat ia merasa kesepian. Karena Amar sering sekali mengajak Dira pada jam-jamnya hantu berkeliaran. Bodohnya ia mau. Itulah kenapa, Dira berharap Amar selalu seperti ini kesepian dan jika tak ada orang didekatnya, Dira pastikan Amar selalu kembali padanya. Namun ia juga tak mau Amar sakit. Ahh membingungkan.

Apakah aku salah punya perasaan terhadap orang yang telah memiliki kekasih? Aku tak bisa mengatur hatiku. Aku tak tau pada siapa ia jatuh. Aku juga tak ingin seperti ini, aku tak mau hatiku sakit hanya untuk terus bisa bersamanya tapi akan lebih sakit saat ia tak ada. Aku memilih menjalani yang seperti ini saja, tak apa. Memang aku yang buta bukan cintanya, memang aku yang salah bukan pula cintanya. Cinta tak pernah salah dan hati selalu benar. Mungkin saja tempatnya yang salah, waktunya yang tidak tepat. Andai saja kita bertemu saat masing-masing diri tak memiliki pasangan, mungkin ceritanya akan berbeda. Mungkin ia bisa membuka pintu hatinya untukku. Mungkin.

SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang