"Yak! Lee Haechan, apa kau serius pada ucapanmu? Maksudku, ayolah! Semua manusia pasti memiliki mimpi, hanya manusia batu yang tak memilikinya. Seorang narapidana pun memilikinya." Ucapan dari seorang pemuda berambut panjang hitam itu berhasil menghentikan kegiatan Haechan dalam mengerjakan soal fisika yang memang ditugaskan dalam kelasnya hari ini."Ya! Hyunjin benar. Bukankah aneh jika kau tak mempunyai mimpi? Oh! Atau kau malu mengatakannya? Katakan saja! Apa mimpimu? Kami kan teman sekelasmu, kita sudah bersama sejak awal masuk. Apa yang kau takutkan? Kami juga membelamu saat berurusan dengan si brengsek Guanlin." Seru seorang pemuda yang mirip tupai, menyahuti ucapan Hyunjin. Sebut saja Han.
Seseorang yang sedang mencoret-coret seragam Hyunjin pun ikut menoleh. "Sudah hampir tiga tahun kau menyembunyikan cita-cita mu, bagaimana kau mendapat beasiswa kalau pihak sekolah tak tahu apa yang mau mimpikan."
Haechan menoleh perlahan pada mereka. "Tidak bisakah kalian duduk dan diam? Semua pertanyaan kalian mengganggu."
Ketiganya, Seungmin, Hyunjin dan Han menghela nafas. Lagi lagi. Mereka sudah terbiasa menghadapi sikap Haechan yang kelewat cuek itu.
Hei! Padahal mereka memikirkan nasib teman sekelasnya itu. Tapi inilah jawabannya.
Memang sih, dari seluruh penjuru sekolah. Hanya mereka bertiga yang terlihat pernah berinteraksi dengan Haechan, pemuda itu terlalu sulit ditebak sehingga tak memiliki teman.
Entahlah, Haechan tak peduli dengan pandangan sekitar. Dirinya bukan level dari para murid yang tergolong berkasta tinggi disini. Kalaupun ia berbaur, itu akan merepotkan.
Kau tak bisa berlari dari kenyataan Lee. Temui aku di taman belakang sekolah, tapi jika kau muak dengan wajahku, aku sudah pernah memberi kartu namaku kan?
-HRJ
Haechan menghela nafas, dirinya masih belum terbiasa dengan kehadiran dari surat-surat yang akan ada di lokernya saat ini. Mengesalkan.
Oh ayolah! Apa mereka tak bosan mengiriminya rentetan pesan itu?! Haechan sendiri muak melihatnya.
Haechan menutup pintu lokernya setelah mengambil sebuah buku, dirinya lantas pergi ke taman samping sekolah. Dengan sekotak nasi goreng kimchi yang ia buat tadi pagi, dan juga kopi Americano yang ia beli di kantin. Dirinya duduk di kursi panjang itu.
Suasana taman samping sekolah tidak ramai dan juga tidak sepi.
Tidak terlalu ramai seperti halaman depan, dan juga tidak sepi seperti halaman belakang sekolah. Standar.
Tangan sebelah kirinya menyendokkan nasi goreng itu ke mulutnya, meminum kopi nya beberapa saat. Sementara tangan kanannya memegang sebuah buku yang ia baca sedari tadi. Kedamaian. Haechan suka itu.
"Kurasa kau lebih suka menyendiri disini. Kau tahu? Sangat sulit menemukan lelaki introvert yang suka menyendiri sepertimu di sekolah yang besar ini." Haechan mendongak kala mendengar suara lembut nan sarkas khas seorang perempuan yang asing di pendengarannya.
Pemuda berkulit Tan itu mendongak, seorang gadis berseragam sepertinya tengah menatapnya dengan intens. Siapa dia? Haechan tak pernah merasa mengenal seorang gadis dengan netra biru, tunggu! Biru? Berarti dia orang luar? Bukan dari Korea?
"Siapa kau?"
Gadis itu tersenyum. "Siapa aku? Ayolah! Siapa aku itu tidak penting. Aku kesini untuk menagih penawaran yang pernah diberikan oleh Tuan Huang beberapa waktu lalu padamu. Tuan Lee."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Blood and Direction || Lee Haechan
Mistério / SuspenseYang ada dipikiranku hanyalah kemana aku melangkah, aku tak punya pertanyaan lain selain itu. Jadi jangan membuatku berfikir dengan menanyakan akan jadi apa aku kedepannya nanti, itu tak akan ada gunanya. Pulang untuk Pergi, dan Pergi untuk Pulang. ...