Siang itu, aku sedang jenuh di rumah yang menuntutku untuk terus mencari kerja. Intinya kerja, kerja, dan kerja. Iya, aku tahu baru saja selesai kuliah tapi ga semudah itu kan? Aku putuskan untuk keluar mencari tempat segar.
Aku menuju tempat ayunan yang dulu biasa aku main. Ayunan itu berada di depan rumah temanku. Ayunan sederhana, jumlahnya 2, dibuat dari bambu melintang diantara pohon alpukat dan kelapa lalu dijuntaikan 4 tali darinya agar papan kecil bisa terselip di sana untuk alas duduk.
Siang itu, anak pemilik ayunan seperti menungguku. Dia tanya, "Kamu pernah main Tantan?". "Eh, ga lah!", jawabku. "Kirain kamu ke sini karena udah janjian di Tantan", katanya.
Kenapa harus Tantan? Itukan aplikasi pencari jodoh? Ah, terserahlah. Singkat cerita kami mengobrol panjang lebar di sana. Lumayan bisa mengusir jenuh. Tapi tiba-tiba ada pertengkaran kecil terjadi antara 3/4 orang. Perundungan.
Aku lupa bagian ini padahal ini awal bencana itu muncul. Tapi seingatku, ada yang dirundung, lalu bangkit melawan dengan melepaskan semua energi yang dia punya. Si perundung tahu, kalau sampai dia begitu berarti akan ada banjir besar yang mungkin menelan seluruh daratan.
Mereka langsung cabut dan mempersiapkan perbekalan dari warung terdekat lalu bergegas mencari tempat aman. Aku yang tahu maksud mereka ikut evakuasi diri. Aku ambil beberapa makanan yang kiranya bertahan lama tapi tidak repot dimasak. Aku buru-buru pulang dan memperingatkan orang di rumah. Sayang sekali, mereka tidak percaya sepenuhnya.
Kesal bercampur marah akibat peristiwa sebelumnya ditambah tidak tega untuk meninggalkan mereka, aku buat keputusan. Aku bakal pergi! Aku minta maaf ke mereka, mamaku, kakakku, dan pak lik. Mereka tahu, ini akhir dari segalanya tapi memilih bersikap biasa saja. Akhirnya, aku meninggalkan mereka semua setelah mengemas keperluan yang mendadak ini dan diantar dengan senyuman terukir di wajah mereka.
Di perjalanan aku bertemu 2 orang lain yang melihat semuanya dari awal perundungan itu. Mereka juga tahu akan ada peristiwa ini jadi mereka berusaha naik ke tempat tertinggi di pulau ini, Gunung Selamet. Beruntungnya, aku ada di dekat kaki gunung itu dan bisa ke sana meski harus berlari berjam-jam tanpa henti.
Ada si dokter ahli yang lebih ke peneliti gila dengan teknik yang dimilikinya. Yang satunya lagi si santai yang lebih kalem saat menghadapi situasi krisis ini. Kami berhasil naik ke daerah dekat hutan di kaki gunung. Kami mempersiapkan cadangan makanan dari rumah warga yang kosong di pinggir jalan kemudian jalan lagi.
Si santai bilang, "Kalau cuma kita yang selamat, kita tak bisa membangun peradaban lagi! Kita butuh wanita!". Yah, intinya butuh pasangan sih buat reproduksi. Hah, kita cuma bisa pasrah karena tidak akan ada yang percaya apa yang kita katakan bagi masyarakat. Kami tetap melanjutkan perjalanan ke atas gunung lagi setelah semua perlengkapan diisi penuh.
Singkat cerita, kami beristirahat di satu tempat. Si dokter tidur di atas meja dan aku dibawahnya. Si santai sibuk jalan-jalan mencari wanita. Kami tidak bisa tidur padahal tubuh kami lelah. Kuputuskan untuk berbenah tas menambah perlengkapan dan merapihkan segalanya agar gampang saat panik nanti. Aku melihat ke arah luar pintu, banyak sekali orang menaiki motor dengan kardus minuman yang biasanya dijual di warung seperti apa namanya ya, minuman perasa warna ungu dengan stiker panther hitam ditengahnya. "Apa mereka sudah tahu yang terjadi di bawah sana dan sedang persiapan?", pikirku. Aku mencoba mengalihkan perhatianku ke perlengkapanku lagi.
Tiba-tiba si dokter mendapat firasat buruk dan terbangun dari tempatnya. Kami semua berjalan lagi sampai suatu waktu ada suara aneh si sekitar kami. Suaran wanita dan dedaunan kering terdengar di balik pohon besar. Ternyata ada ibu yang sedang membawa anaknya dengan basah kuyup.
Sebelumnya, dia sudah terkena banjir itu bersama suaminya. Dimenit-menit terakhir, si suami berkata "...arusnya! Ingat arusnya!". Sang ibu langsung paham apa maksud dari perkataan itu dan melingkarkan jubah hitamnya ke tubuh anaknya. Mereka pun hanyut dan sampai di kaki gunung, lalu berjalan menaiki gunung lewat hutan yang sama meski jalur kita berlainan. Dari sana, si santai sumringah karena tahu ada harapan untuk membangun peradaban dengan mereka ini. Aku sebenarnya juga bersyukur ada mereka di sini. Tapi di sisi lain, mereka juga beban baru yang menghambat kami.
Suara banjir itu semakin mendekat dan sepertinya sudah menelan cukup luas wilayah pulau ini. Kami pun memutuskan melanjutkan menuju puncak. Aku merasakan bahaya dan situasi makin mencekam. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini semua. Akankah harapan kami terkabulkan jika sudah berada di puncak? Atau apakah kami mati tertelan air bah itu? Aku pun ingin tahu kelanjutannya tapi aku keburu bangun dan pergi cek kebun belakang, kali aja ada duren jatuh lagi. Maaf ya, ini cuma mimpi buruk ku doang kok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hari Akhir Perlahan Mendekat
Short StoryHey, pernahkah kamu lari dari akhir segalanya? Berlari untuk semua yang kamu bangun lama dan hanya untuk bertahan hidup? Biar aku awali di sini.