BAB 8

31 21 10
                                    


"Jadi, Yas menurutmu gimana?"Dira meminta saran pada Ayas.

Dira menyeruput segelas kopinya "Kamu mau di giniin terus? Mending kamu minta balik aja deh sama atasanmu ke Surabaya. Kamu itu cuma dijadikan pelampiasan. Nggak ngerasa?"

"Kalau sudah jatuh cinta, yang lain berasa abu-abu ya." Kepulan asap dari mulut Dira melambangkan kacaunya pikiran Dira saat ini.

"Hubungan kalian itu yang abu-abu."

"Aku sadar, tapi aku nggak mau dia pergi."

"Mending kamu fokus sama Raka deh, Ra. Kamu nggak tau nanti kalau pacarnya Amar tau gimana? Kamu pasti bakal dibuang. Percaya deh."

Dira hanya melamun memikirkan kalimat Ayas yang baru saja dilontarkan "Aku harus pindah sepertinya. Kalau tetap disini aku nggak akan bisa." Pungkasnya.

"Pilihan yang tepat."Ayas tersenyum, ia tak mau sahabatnya itu salah dalam memilih. Beberapa saat kemudian mereka beranjak dari kedai kopiku.

Setelah setahun berada di Malang, akhirnya Dira meminta atasannya agar bisa kembali ke Surabaya. Langsung saja permintaan itu di setujui dan kebetulan pula resepsi pernikahan Ayas akan segera berlangsung. Keputusannya sangat didukung oleh keluarga dan kekasihnya, tapi tidak dengan Amar. Hampir saja pikiran Dira goyah saat Amar memeluk erat tubuh mungil Dira dan menangis memohon agar ia tetap di Malang. "Kita masih bisa ketemu kok, Kak. Kalau ke Surabaya tetap berkabar ya."Ucap Dira menenangkan perasaan Amar, walaupun hatinya juga tak tenang.

"Kita masih bisa seperti ini kan? Jangan berubah.Please."

Dira hanya mengusap lembut rambut gondrong lelaki yang ada dihadapannya, sebelum mereka berdua melakukannya. Lagi.

Kepulangan Dira ke Surabaya di sambut tawa bahagia keluarga. "Akhirnya anak wedhok Ibu kembali." Ucap Ibunya. Malam ini Ibu Dira membuat menu masakan yang setiap kali di Malang, Dira merindukannya. Opor ayam. Aroma rempah tercium sampai ruang tamu. Suara perut Dira pun berisik mengatakan ingin makan opor ayam itu sekarang.

Dira membantu Ibunya menyusun makanan di meja, Kakak perempuan Dira membangunkan anak kembarnya, sedangkan Ayah bersama Raka berbincang di teras rumah. Setelah siap, dengan lahap mereka menghabiskan hidangan yang tersaji dimeja makan. Tak lama setelah itu, Raka pamit. Kini hanya Ayah, Ibu dan Dira yang sedang menonton. "Kamu sayang sama Raka, Nak?"tanya Ayah.

"Sayang." Jawab Dira ragu. Ayahnya hanya mengangguk.

"Kapan mau dilamar?"Kini ibunya yang bersuara. Dira mengangkat bahu.

"Dira mau tidur dulu."Dira masuk kekamar dan bersiap tidur. Mungkin kali ini aku bisa melupakan Amar.

SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang