Prolog

398 45 4
                                    

Halo!
Kangen nggak sama aku?
*ditabok.
Well, here i am, datang bawa cerita baru yg bener-bener berbeda karena mengusung "crime fiction"

Nggak romance?
Romance-nya tetep kuat di dalamnya dong. Jadi bagi kamu penggemar romance, tetep bisa menikmatinya.

So enjoy it!

oOo

Adu mulut di ruang tamu terdengar sampai kamarku. Aku meng­usap mata, menggusah kantuk yang tersisa. Pipiku kaku karena menempel di atas buku cukup lama—ternyata aku tertidur selagi mengerjakan PR.

Teriakan-­teriakan dari ruang tamu semakin keras. Aku duduk lebih tegak, menajamkan pendengaran. Ada suara Ayah dan bebe­rapa suara orang dewasa lain.

Kemudian, mendadak hening.
Napasku tertahan. Perasaanku tidak nyaman.
Samar, aku mendengar Ayah berkata, "Turunkan senjata kalian!"

Aku bisa membayangkan adegan di luar sekarang. Ada yang menodongkan senjata kepada Ayah. Situasinya tiba­tiba menjadi berbahaya. Kurasa, aku tidak bisa terus berdiam saja.

Aku beringsut ke sisi tempat tidur dan menarik laci di bawah dipan. Glock milikku tersimpan di sana. Terakhir kali berlatih me­ nembak, aku ingat masih menyisakan beberapa butir peluru di ma­ gasinnya. Aku mengambil benda itu dengan hati­hati agar tidak menimbulkan suara, lalu berjinjit ke pintu.

"Aman, Fredy, kami sudah pasang peredam."
"Lo mau pasang peredam dulu?"
Terdengar tawa mengejek. "Beneran mau melawan? Kami ber­tiga, Fredy. Nyerah ajalah. Pilih jalan damai dan turuti mau kami."

Mataku membulat. Itu jelas sebuah ancaman.
Aku menarik pintu kamar. Mataku langsung menangkap keber­adaan tiga pria lain, dua orang di antaranya tengah menodongkan senjata kepada ayahku. Pria yang paling dekat dari posisiku meme­gang senjata yang sama dengan milikku, Glock. Dia menoleh perla­han—mungkin suara derit pintu sampai ke telinganya. Kemudian, dua temannya yang lain ikut menoleh. Satu yang tirus menyeringai, sementara yang berdiri di dekat pintu keluar memucat. Ayahkulah yang terakhir menoleh dengan gerakan perlahan sekaku robot. Mata­nya melebar nanar ketika memandangku. Kepalanya seperti berusaha menggeleng, melemparkan isyarat tanpa suara.

"Punya bantuan, Fredy?" tanya pria tirus.

"Gu­-gue dengar Valerie jago nembak," si pria pucat terbata. Dia takut kepadaku? Anak 13 tahun ini? Kenapa?

"Kalian sedang apa?" tanyaku waspada.

"Mau ikut main?" tanya si pemegang Glock sambil meneleng­kan kepala.

Aku bergantian mengamati Ayah dan ketiga pria yang masih saling todong meski mata mereka tertuju kepadaku. Aku menguak pintu lebih lebar. Tiga pasang mata milik para pria yang tidak ku­kenal itu itu membelalak ketika melihat benda di tanganku.

"VALERIE, LA—"

Kalimat ayahku tidak terselesaikan karena si pemegang Glock memutar kepala ke arah Ayah. Sedetik, aku merasa panik, memiliki firasat mengenai apa yang akan terjadi. Instingku mengambil alih dan tanganku bergerak lebih cepat daripada otak. Aku menembak.

Telingaku berdenging mendengar rentetan tembakan yang sahut­ menyahut. Apakah kedua pria bersenjata itu membalas? Apakah ayahku ikut menembak? Aku tidak bisa mencerna sekelilingku. Hanya telunjukku saja yang terus menekan pelatuk hingga macet, hingga tidak ada lagi peluru yang bisa dimuntahkan pistol itu. Napasku memburu. Dadaku naik turun. Telapak tanganku terasa panas dan lenganku sakit menahan efek sentakan senjata yang beru­lang. Aku menyisir ruangan dengan pandangan yang mendadak ka­bur. Aku menggoyangkan kepala untuk menjernikan pikiran.

Saat itulah aku mendengar suara gemeresik dan melirik, men­dapati si pria berwajah pucat beringsut mundur ke arah pintu. Se­pertinya dia tidak terluka. Peruntungannya bagus juga. Terutama karena sekarang aku kehabisan peluru dan tidak bisa menyerang.

"A-­aku akan pergi. Oke?" cicitnya sambil mengangkat tangan tanda menyerah.

Pria itu dengan tergesa membuka pintu dan kabur tanpa me­nutupnya kembali. Saat itulah aku melihat kehadiran sosok lain di sana, dari celah pintu yang terbuka. Nenek Maida, tetanggaku, menatap dengan mata terbelalak. Bibirnya terbuka dan jeritan keras nyaris terdengar jika dia tidak buru­-buru membekap mulutnya sen­ diri. Aku menunduk ke arah Glock di tanganku yang tidak dipa­sangi peredam.

"Nek, aku—" Suaraku lebih parau daripada yang kuduga. Teng­gorokanku kering, membuatku kesulitan berkata­-kata. Aku dirun­dung bingung dan kehilangan daya.

Nenek Maida terhuyung pergi dan aku tidak peduli. Mataku terpaku pada tiga tubuh yang tergeletak di ruang tamu. Si pria pe­megang Glock, si pria tirus, dan terakhir ....

Seluruh fokusku tertuju kepada sosok itu. Sosok yang separuh tubuhnya ambruk ke sofa, sementara sisanya di lantai. SIG Sauer terlepas dari jarinya yang menjuntai.

Betapa ingin aku memanggilnya supaya dia bisa menenang­kanku, tetapi takut dia tidak menjawab.

Betapa ingin aku mengguncang tubuhnya, tetapi takut dia te­tap tidak bergerak.

"A-­Ayah?"

Hanya satu kata itu yang bisa kupaksakan keluar dari mulutku yang kering. Sisanya, aku memanggilnya puluhan kali, dalam hati.

Namun, ayahku tidak pernah bangun lagi.[]

Alegori ValerieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang