Heartbroken Episode

28 5 4
                                    

Sinar terang menyerang mataku tiba-tiba. Kepalaku rasanya sakit sekali, mataku berat, dan tulangku terasa akan patah. Apa aku sudah mati?

"Naraya Masita sebaiknya lo bangun sebelum gue bakar rumah lo!" teriak suara seseorang yang sangat familiar. Kirino, sepupuku. Tunggu. Kenapa dia ada disini? Diterpa kebingungan dengan sepupuku yang seharusnya berada di pulau yang berbeda ini, aku justru menarik selimutku lebih tinggi menutupi wajahku.

"Bangun Nar, gue bawain cheesecake jauh-jauh buat lo sarapan" katanya sekali lagi sambil menarik selimutku dan membereskan barang-barang di nakasku yang berantakan oleh barang-barang random yang entah sejak kapan mulai kutumpuk di sudut itu.

"Nar, lo gila ya?" tanyanya tak percaya. 'Apalagi kali ini?' batinku. "lo ngerokok di kamar? Di atap yang sama dengan tante yuna? Wah, Lo emang udah gila!"

"Berisik!" ucapku lelah sambil berusaha merenggangkan badanku sedikit sebelum melanjutkan ucapanku "gue Cuma pengen tidur, gue gabisa tidur sampai matahari udah keliatan. Gue cape banget."

"Berisik?" tanyanya tidak percaya "Gaada! Lo harus bangun dan jelasin semuanya. Gue udah jauh-jauh kesini--"

"Gaada yang nyuruh lo kesini!" potongku dengan sedikit emosi "Gaada yang minta lo kesini no! please gausah ngurusin hidup gue" kutarik nafasku dengan kasar karena mulai meresa tenggorokanku sedikit tercekat. Tidak, aku tidak boleh nangis. Ino, panggilan ku untuknya, sudah sering melihatku menangis, tapi aku tidak mau dia melihatnya kali ini dan bertanya.

Tiba-tiba pundakku terasa hangat, Ino memelukku. Tanpa kusadari tangisku sudah pecah. Hoodie abu-abu miliknyapun sudah basah oleh tangisku. Tangannya mengusap kepalaku pelan, bukannya berhenti air mataku jusrtu mengalir makin deras, napasku mulai terputus-putus. "Nangis aja Nar, keluarin semua air mata lo sampai habis. Gue bakalan nemenin lo sampai selesai"

***

Setelah sejaman lebih menangis, mataku akhirnya menyerah dan tertidur dipelukan Ino. Kulirik jam di dindingku, sudah jam 4. Saat mencoba berdiri kakiku terasa aneh. Tumpukan pakaian kotor, sampah dan barang barang lainnya yang berserakan di lantai sudah tidak ada. Ino pasti membersihkannya, sebab tidak mungkin mama yang melakukannya. Ia sudah cukup sibuk dengan pekerjaannya dan memang tidak akan masuk kekamarku sebab sudah kularang sebelumnya.

Saat berjalan keluar dari kamar kulihat ino berdiri didepan kompor, tercium juga bau mie instan. Jadi lapar.

"dih bisa bangun lo? Kirain udah jadi belatung lo di kamar yang kaya pembuangan sampah" sindirnya sambil menuangkan kuah mi instant kedalam mangkuknya.

"ngapain lo disini?" tanyaku

"makan nih, pasti lo lapar" katanya tanpa menjawab pertanyaanku, ia kemudian kembali sibuk dengan kegiatan memasak mienya. Selama beberapa saat mereka makan dalam diam.

"nar" panggil ino setelah menyelesaikan makannya "jangan kaya gini lagi ya" matanya terlihat meneduh, tidak seperti biasanya. Ino selalu ceria dan entah? Yang kutahu ia jauh dari kata sedih. Tangannya mulai menggenggam pergelangan tanganku sebelum kembali berbicara "jangan kaya gini, jangan nyakitin diri sendiri kaya gini. Lo lebih baik marah, lo mau mabok ayo gue temenin, lo mau kita ngebut-ngebut di jalan tol ayo gue setirin, lo mau makan mcd sampai muntah juga gue beliin, bahkan kalau lo mau ngebakar sekolah juga ayo gue yang nyiram bensinnya"

akhirnya aku tersenyum sedikit sebelum berkata "apasih no? itu juga maunya elo" pria didepanku ini akhirnya terkekeh bersama sebelum ia menatapku dalam dalam lagi.

"tapi nar, gue serius. Mereka gak sepadan dengan kerusakan yang lo bikin ke diri lo sendiri" aku tersenyum kecil seolah menyetujui perkataannya, tapi tidak.

Kakofoni; Changbin AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang