31

32 6 1
                                    

Kini Yeojun dan Jiyeon duduk di salah satu kursi di taman. Jas hujan yang sudah tidak dipakai pun diletakkan di salah satu sisi sandaran bangku.

"Jangan lupa pakai masker dan topimu, daerah ini memang terpencil, tapi tidak menutup kemungkinan ada yang melihatmu." Jiyeon mengingatkan.

Yeojun pun menurut lalu memakai maskernya. Sedangkan untuk topi, ia memang tidak membawanya, ditinggalkan di mobil.

Selama beberapa saat mereka berada di dalam keheningan. Hanya ada suara burung yang kembali berkicau setelah hujan reda.

Setelah memikirkan dan menata kalimat  Jiyeon memulai pembicaraan. "Kau ingat, dulu kau pernah bertanya, saat aku bercerita tentang hubunganku dengan ayahku. Kau bercanda bertanya komunikasiku dengan ayahku."

Yeojun mengangguk.

"Kau benar. Ayahku hampir tidak pernah menghubungiku. Tetapi, setidaknya sebulan sekali, ayahku mengirimkan pesan. Pesan yang memberi tahu bahwa ayahku mengirimkan uang." Jiyeon tersenyum kecut.

"Uang. Tidak ada hal lain. Aku tahu mungkin itu memang satu-satunya hal yang dapat dilakukan ayahku, terutama karena ibuku tidak suka ayah menemui kami. Uang setiap bulan itu seperti komunikasi selama beberapa tahun. Tapi kami tidak pernah menggunakannya karena ibu tidak mau menerima uang dari ayah. Tadi, ibu benar-benar kecewa padaku setelah tahu aku masih menerima uang itu."

Yeojun terus mendengarkan Jiyeon karena menurutnya Jiyeon membutuhkan seseorang untuk bercerita, seperti yang dikatakan oleh Soohyun.

"Kami tidak pernah menggunakan uang itu, aku menyimpannya untuk biaya Jaemoon pergi ke akademi." Jiyeon tersenyum singkat ketika membahas adiknya. "Dia ingin menjadi seorang polisi. Sulit meyakinkannya karena dia pernah hampir menyerah, tahu biaya besar yang harus dikeluarkan. Lalu setelah dia yakin, aku hanya ingin memastikan kami bisa mendukungnya, aku tahu aku pasti bisa membiayai tapi begitu juga dengan ibu yang pasti mau terus bekerja dengan keras."

"Aku hanya ingin, ibu beristirahat, memanfaatkan uang yang diberikan ayah untuk biaya sekolah dan di beberapa situasi tertentu. Tapi, rasanya memang mustahil, dan sekarang sepertinya ibu memang masih membenci ayah, sampai tidak mau memakai uang itu sepeserpun."

Setelah Jiyeon terdiam selama beberapa saat, Yeojun akhirnya berkata. "Jiyeon, boleh aku mengatakan sesuatu?"

Jiyeon pun mengangguk dan menunggu perkataan Yeojun.

"Menurutku, ibumu merasa kecewa karena kau tidak berkata jujur padanya. Ibumu pasti merasa dibohongi selama ini, dan hal diluar pengetahuan atau kemampuanmu, mengenai ibu dan ayahmu, hanya mereka yang perlu mengurusnya. Kau tidak perlu berpikir terlalu jauh apakah ibumu masih membenci ayahmu sampai tidak mau menyentuh uang itu, kau tidak perlu mengira-ngira apa yang membuat ibumu begitu. Setiap emosi pasti ada alasannya. Begitu juga dengan ibumu...

Jadi, jangan pikirkan mengapa ibumu seperti itu, pikirkan saja apa yang berada di bawah kemampuan atau kuasamu. Kau tidak jujur, maka ibumu kecewa, itu saja yang harus kau selesaikan. Berhentilah membebani dirimu dengan terus berpikir untuk menyelesaikan masalah diluar batasmu. Sebab dan akibat, kalau kau saat ini berada di situasi akibat dari suatu hal yang tidak kau ketahui, menurutku lebih baik kau urus hal itu. Baru setelah itu, saat ada kesempatan, kau bisa pergi ke situasi sebab dan membantu menyelesaikan."

"Apa aku tidak bisa memulai dari situasi sebab?"

Yeojun sendiri tidak yakin apakah yang ia katakan sudah benar, yang ia pikirkan hanyalah yang terbaik untuk Jiyeon. "Akan ada masanya. Menurutku, saat ini mungkin kau tidak bisa karena itu memang diluar kuasamu. Saat waktunya tiba, saat kau mengetahui apa yang belum kau tahu saat ini, mungkin kau bisa membantu menyelesaikannya...

Lebih baik kau tetap berada di dalam garis batas, jangan melewatinya, karena keadaan mungkin menjadi lebih buruk... dan aku yakin, kau pasti bisa."

Jiyeon mengangguk perlahan. Ia juga berusaha mencerna dan memahami setiap situasinya.

"Akan ku coba untuk tetap seperti itu... aku juga harus meminta maaf pada ibu dengan sungguh-sungguh, kalau dipikir-pikir aku memang seperti anak nakal dan ngeyel."

Yeojun tersenyum.

"Terima kasih, sudah rela bermain hujan dan mendengarkanku berpidato tentang kisahku yang terlalu dramatis."

"Aku tidak melakukan banyak hal... hanya melakukan apa yang bisa kulakukan. Kau, jangan sungkan menghubungiku, sekadar memberi tahu apa yang kau lakukan 5 menit setelah aku pergi, atau saat kau melihat awan bergerak, aku juga akan ikut melihat awan."

Mendengar perkataan itu, Jiyeon mengernyitkan dahinya. "Eh kenapa?"

"Ya meskipun kita hanya berhubungan lewat telepon, setidaknya kita masih melihat awan yang sama. Menurutku itu menyenangkan, karena rasanya jadi, kita tidak berjarak jauh dan kesepian di tempat masing-masing, seperti kita mengobrol bersebelahan seperti saat ini dan melihat awan yang sama."

Jiyeon langsung tersenyum dan pipinya menghangat. Dari sudut pandang Yeojun, pipi Jiyeon mulai memerah.

Yeojun menyadari bahwa kalimatnya terdengar berlebihan, seolah mau merayu Jiyeon. "Terdengar aneh ya? Menggelikan. Untung ini bukan siaran langsung dan tidak ada yang merekam, jadi tidak akan ada video siaran ulangnya. Aku pasti ingin menghilang dari bumi kalau sampai ada dan mendengar ucapanku sendiri."

"Sedikit. Tapi terima kasih. Itu bukan ide buruk. Aku akan menghubungimu kalau melihat langit yang sangat indah."

Karena aku juga ingin berbagi keindahan itu denganmu, Hong Yeojun.

"Bagus. Aku juga akan menghubungimu saat melihat bintang jatuh. Siapa tahu bintangnya juga melewati rumahmu."

Aku ingin bintang jatuhnya mewujudkan harapanku untuk melihatmu bahagia dan juga mewujudkan harapanmu, Ryu Jiyeon.

"Ngomong-ngomong, kau tidak mungkin kebetulan di sekitar sini kan? Apa kau mau mengatakan sesuatu sampai kesini?" Jiyeon tersadar tadi Yeojun menghampirinya ketika hujan mulai turun. Lokasi rumahnya dengan agensi atau dorm tidak seperti tetangga sebelah yang dapat bertemu kapan saja.

"Aku?"

Yeojun diserang pertanyaan mendadak yang memang tidak ia siapkan jawabannya. Awalnya ia kesini karena Soohyun yang menyarankan untuk menemui Jiyeon dan mungkin menghibur setelah muncul berita itu. Tapi akan terlalu aneh jika dijawab mau menghibur, memangnya siapa Yeojun berhak menghibur Jiyeon?

"Ah.. iseng saja... aku sedang tidak ada jadwal, jadi aku hanya berkeliling mengikuti GPS, lalu sampai ke rumahmu karena kemarin mengantarmu..."

"Ah begitu ya..."

Respon Jiyeon tidak memuaskan karena jawaban aneh dari Yeojun. Tapi Yeojun juga tidak mungkin berkata jujur.

Mereka lantas terhanyut dalam keheningan selama beberapa saat. Tidak ada topik yang bisa dibahas lagi. Yeojun tidak mungkin berbagi informasi jadwalnya yang sibuk sebagai idol disaat Jiyeon masih berjuang untuk karirnya. Jiyeon tidak mungkin menceritakan keluh kesah antara kerja dan belajarnya untuk suneung, mungkin terdengar membosankan.

Yang terpenting, menghabiskan waktu bersama seperti ini juga sudah lebih dari cukup. Bagi mereka masing-masing yang sama-sama tidak mampu mengungkapkan.

shineling | yoongi jieunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang