"Ges, gue mau cerita ke kalian," ucap Olivia membuka topik di sela-sela quality time di sebuah restoran Jepang malam ini.
Salma mendongak. "Monggo."
"Jadi, setelah pulang sekolah tadi ... Gue udah mikir matang-matang, kalo gue bakal minta kejelasan hubungan ini ke Oliver," jelas Olivia sedikit berpikir, menatap langit-langit plafon lalu tersenyum singkat dan mulai melahap susinya.
"Udah siap denger jawaban dan gimana ke depannya hubungan kalian?" Lagi-lagi, Nadine mengulangi pertanyaannya beberapa jam yang lalu.
"Yash. Of course. Gue udah pertimbangin. Kalo masih berjalan baik, Alhamdulillah. Kalo nggak, nggak papa. Lagian, gue juga gak berharap jadi his official girlfriend."
"Jadi kapan, lo bakal minta kepastian ke dia?" tanya Nia diangguki Nadine.
"Lo chat dulu aja anaknya, kapan kosong. Kan, biasanya dia jaga kopsis. Baru, deh, lo susun kata-kata lo," lanjut Salma.
Olivia mengiakan. "Bentar."
Olivia Ongkowijaya: Piaannn.
Olivia Ongkowijaya: Besok kosong, gak, pas istirahat?
Oliver Melviano Aleczander: Napa?
Olivia Ongkowijaya: Pingin ngomong empat mata.
Oliver Melviano Aleczander: Di chat aja.
Olivia Ongkowijaya: Kurang enak.
Oliver Melviano Aleczander: Ya udah, bisa.
Oliver Melviano Aleczander: Akhir-akhir bel aja.
Oliver Melviano Aleczander: Aku jaga Kopsis soalnya.
Olivia Ongkowijaya: Iya.
Oliver Melviano Aleczander: Ngomongin apa emang?
Olivia Ongkowijaya: Ya itu makannya, aku mau ngomong.
Olivia Ongkowijaya: Di taman, ya?
Oliver Melviano Aleczander: Hm.
Olivia Ongkowijaya: Makasih, btw.
Oliver Melviano Aleczander: Yoi.
Oke, Liv. Siap gak siap, harus siap. Masa iya, lo mau digantung gitu aja? Ntar kalo kelebihan, dikira caper. Kalo biasa-biasa aja, dikira cuek. Kan, serba salah, anjir.
"Udah, Nih," kata Olivia meletakkan handphonenya di tengah-tengah meja, membiarkan ketiga temannya membaca.
Nia berkomentar, "Busett, fast respon juga, tuh, WAKETOS."
Olivia hanya menanggapinya dengan menggedikkan bahu.
"Sip. Good luck, Liv," ujar Salma menepuk bahu Olivia pelan.
***
Sesuai ucapan Olivia semalam, keduanya bertemu di taman di akhir-akhir jam istirahat yang letaknya tak jauh dari kantin. Hanya sepuluh langkah saja. Itupun hanya tersedia kursi panjang dan air mancur dengan lambang Surya Majapahit yang di sekitarnya terdapat banyak aneka ragam bunga. Beruntung, taman itu sepi saat ini. Tak seperti biasanya. Hanya ada satu orang di sana. Dia, Oliver.
Punggung tegapnya membuat sekujur badan Olivia bergetar. Sejuknya suasana—meskipun sedikit terasa berbeda—membuatnya memejamkan mata sejenak lalu bergerak mendekati Oliver, melewati bunga-bunga yang tertanam.
"Sorry, nunggu lama," kata Olivia mengambil tempat di sisi Oliver, mengakibatkan laki-laki itu menoleh ke samping. "Aku langsung to the point aja," lanjut Olivia menggerakkan bola mata ke kanan-kiri sembari menekuk mulutnya ke dalam.
"Okay. So?" tanya Oliver menanti pertanyaan pertama.
"Kita sebenernya apa, sih?"
"Manusia."
Anjir. Ya, gak salah, sih. Tapi, kurang peka.
"Bukan, bukan itu maksudku," kata Olivia menggeleng.
Oliver mengerut. "Kan, bener. Kita manusia. Emang apa coba?"
"Hubungan ini. Dalam hubungan ini, kita tuh sebenernya apa?"
"Gini aja. Kalo kamu salah, kubenerin. Kalo aku salah, kamu benerin," kata Oliver menyela, hampir membuat Olivia kehabisan kata-kata.
Olivia menghela napas pasrah. "Gimana? Ya, emang bener kamu kek gitu, begitupun sebaliknya. Tapi apa? Aku tetep bingung sama kamu. Maumu, tuh, apa, sih buat hubungan kita ke depannya? Kakak? Adik? Temen? Sahabat? Partner?" tanya Olivia memberikan beberapa pilihan, tak tahan akan sifat Oliver selama ini. "Abis kamu, tuh, cuek ke orang lain, tapi ke aku, nggak. Bukannya ge-er, tapi faktanya gitu."
"Kujawab sekali, abis itu udah gak usah bahas ini lagi," ucap Oliver bernada dingin. "Paling males banget aku," lanjut Oliver memandangi air mancur di hadapan mereka itu.
"Oke. Lagian juga, kamu yang ngawali semua ini dan treat aku kayak gitu," Olivia menimpali.
"Soalnya, pertanyaanmu yang kayak gini-gini, nih, bisa bikin kita jadi stranger lagi."
"Kan, aku gak tau harus bersikap kayak gimana. Sedangkan kamu sendiri gitu."
"We're just friend, btw, no more. Dan, mulai sekarang kamu maunya aku cuek, kan?" tanya Oliver mengalihkan pandangannya pada Olivia dan memberi tatapan tajam pada gadis keturunan Tionghoa itu. "Oke. Kalo itu emang yang kamu mau, aku siap ngelakuin," lanjut Oliver langsung mengambil keputusan sembari beranjak dari kursi taman, membiarkan Olivia terpaku di tempatnya.
"Oke. Deal. Mulai sekarang gak ada lagi yang gangguin kamu pas sore buat bantuin aku ngerjain tugas atau barter info. Gak ada lagi yang ngelarang kamu buat main game, coding, trading, sama mining sampe larut malam. Gak ada lagi yang ngomel-ngomel tentang seberapa pentingnya kesehatan kamu. Gak ada lagi juga yang manja sama kamu yang bisa aja bikin kamu sendiri risih atau ilfeel selama ini. Empat setengah bulan, waktu yang lama, kan, Oliver Melviano Aleczander? Makasih buat semuanya. Makasih udah jadi obat sekaligus luka buat aku. Thank you so much," jelas Olivia tersenyum tipis disertai kekehan di akhirnya.
Gue juga sebenernya capek, kok, lo perlakuin kayak gitu. Empat setengah bulan di treat like a queen tanpa status apapun? Yang bener aja. Gue yang baperan atau lo yang ngasih gue harapan lebih?
KAMU SEDANG MEMBACA
Days With You [TERBIT]
Подростковая литератураINSPIRED BY A TRUE STORY "Napa, sih, kamu suka bikin gemes?" tanya Oliver mencubit pipi Olivia yang terlihat lebih tirus dari sebelumnya. "Cubit aja terosss, sampe molor," komentar Olivia mendengus kesal usai pipi terlepas dari cubitan Oliver lalu m...