BAB 46 | War Is Inevitable

448 87 9
                                    

Segalanya menjadi kacau. Janessa tak percaya dengan situasi yang sedang terjadi. Kobaran api melahap tempat itu, putaran angin beliung meliuk kesana-kemari. Tanah terguncang dan lemparan-lemparan air tak terhingga melayang-layang di udara.

Alfred Dalbert menjadi orang yang menantang Lysandra Blackton sendirian. Dalam kekacauan itu, mereka beradu kekuatan, saling membuktikan siapa yang lebih berhak untuk hidup.

Janessa sebisa mungkin terus mengeluarkan serangan. Air melawan api, siapapun tau siapa yang akan menang, tapi jika api bisa berpikir lebih cerdas, apa yang akan terjadi?

Haden melemparkan serangan demi serangan. Sesekali melompat menghindar saat ia hampir terkena serangan. Antek Lysandra Blackton yang sedang di lawannya cukup tangguh.

Liam menyerang dengan brutal, pemuda itu tak mengenal ampun dan langsung membunuh siapa pun yang melawan. Di tengah pertempuran, ia berusaha mendekati tubuh Luna. Gadis itu masi dalam posisi yang sama, menyaksikan kekacauan di sekitarnya dalam keadaan khawatir dan cemas. Sebersit rasa takut juga terlihat nampak jelas.

Zean melangkah maju, ketika salah satu murid Alter melemparkan serangan padanga. Wajah pemuda itu memerah penuh amarah, menatapnya dengan sorotnya yang tajam. Aron Franklin terus menyerang tanpa henti dan Zean sebisa mungkin menghindarinya.

Peter merengsek menjauh ketika panah-panah dari tanah itu hampir mengenainya. Ia menggerakan tangan, membuat pola abstrak, gelombang kobaran api berputar dan meliuk-liuk tajam menerjang lawan, menghempasnya menjauh.

Felora melangkah mundur, lalu menabrak punggung Peter dan membuat pemuda itu sedikit kaget.

"Hati-hati Moon," pesan Peter, sebelum ia berlari menjauh dan menantang lawan baru untuk berduel.

Hutan itu pecah dengan pertempuran. Felora berlari tak tentu arah, sesekali menghinar dari serangan apapun yang hendak mengenainya. Seekor kucing melompat dan seketika berubah menjadi seroang pria dewasa. Wajahnya bersinar dalam kegelapan, bibirnya yang pucat tersenyum polos, manik sewarna zamurd memandangi Felora dan seakan menariknya dalam ilusi terdalam. Felora terpaku, mengenali wajah kaka laki-lakinya yang hilang.

"Fred?"

Laki-laki itu berlari, dalam detik-detik itu, senyuman polosnya menjadi seringaian paling mengerikan bagi Felora. Felora memejamkan mata, tangannya yang tersembunyi dibalik tubuh memegang ranting tipis dan rapuh. Lalu, ketika laki-laki itu hampir menerjangnya, ranting itu berubah menjadi belati yang amat tajam, menusuk perut laki-laki itu.

Nakomata terdiam dengan matanya yang membelakak terkejut. Mungkin tak akan pernah mengira bahwa gadis yang terlihat polos seperti Felora akan tertipu olehnya. Tubunya mengejang dan wajahnya berubah-ubah bentuk, lalu kemudian tubuhnya melepuh dan terbakar.

Suara jeritan-jeritan yang amat buruk terdengar, bersahutan dengan erangan kucing yang seolah ekornya tertimpa lemari.

Felora mundur, menatap tak percaya atas hasil dari perbuatannya. Tapi kemudian suara jeritan lain terdengar.

Di tempatnya, Luna berteriak nyaring penuh penderitaan. Tubuhnya bergetar tanpa sebab, aura dingin perlahan melingkupi tempat itu. Es menyebar, merambat di setiap inci tubuh Luna dan membekukannya. Rambutnya yang semula berwarna coklat dengan perlahan memutih. Cahaya kebiruan memancar dari tubuhnya lalu dalam sekejap, ledakan besar terjadi, menguncang dan menghapus gambar ritual di bawah tubuh tempat Luna melayang.

Lysandra Blackton menjerit murka, namun juga terpana saat melihat wujud frost Luna.

Tanah-tanah di sekitar area pertarungkan perlahan membeku. Gelombang air yang hendak melahap sekelompok orang berhenti dan ikut membeku, api, dan angin, tak luput dari element Luna.

Es menjalar, melahap hal apapun yang di sentuhnya. Janessa terpaku di tempatnya. Tubuhnya merinding ketika melihat wujud frost itu kembali menguasai Luna. Dia berlari, menjadi satu-satunya orang yang berani bergerek diantara orang-orang yang ada di sana. Tetap maju meski es itu merambat dan membekukan kakinya. Janessa menghancurkan es itu, dan kembali melangkah, terus melakukan hal yang sama ketika es itu terus membekukan kakinya. Namun semakin dekat jaraknya dengan Luna, hawa dingin itu semakin terasa kuat dan menusuk, es menjalar lebih cepat dan membekukan kakinya dengan lebih kuat. Dan dalam usahanya, Janessa kini membiarkan kata-katanya untuk menghentikan Luna.

"Ini bukan kau Luna, jangan biarkan dia menguasai dirimu. Pikirkan tentang kekuatanmu yang sebenarnya maka kau akan bisa menguasainya." Janessa berteriak. Merintih kesakitan ketika tubuhnya dengan perlahan mulai diselimuti kedinginan es.

Sinar-sinar biru itu semakin besar, melingkupi tubuh Luna yang melayang ditutupi wujud frost. Gemuruh terdengar, menguasai hutan belantara itu. Hawa yang terasa semakin dingin, menyesakan membuat tak seorangpun sanggup menggerakan tubuh hanya untuk sekedar melangkah.

Lysandra Blackton terus berusaha menghancurkan setiap kebekuan yang tak pernah berhenti menjalari tubuhnya, merubahnya menjadi kepingan-kepingan yang kemudian berubah menjadi salju yang akan kembali menyerangnya.

Tak ada satupun dari mereka yang berada di sana mampu bergerak. Satu persatu berusaha mati-matian untuk bertahan agar tak berubah menjadi patung es seperti yang lainnya yang telah kalah.

"Luna kumohon! Aku tau kau masih berada di sana!" Suara Janessa kian melirih, tak kuasa menahan kesakitan dari kebekuan yang menjepit dan seakan ingin menghancurkan tubuhnya.

Zean meringis, menahan rasa sakit tanpa membuat gerakan sedikitpun. Es itu telah membekukan setengah dari tubuhnya. Ia menatap tubuh Luna yang melayang dan bercahaya. Rambut putih panjangnya bergerak-gerak di terpa angin dingin.

Suasana berubah menjadi lebih mencengkam dari sebelumnya. Jeritan dan makian terdengar. Suara tangis Janessa yang tak pernah berhenti menyadarkan Luna. Lalu seruan-seruan Haden, Peter, Felora, Aron dan Liam.

Zean mengenali sebagian orang yang datang berpempur malam ini. Selain Alfred Dalbert, Profesor Milled Grint dan teman-teman Luna. Semua Profesor yang bekerja di Alter datang, beberapa murid Alter dan orang tua murid lainnya juga ikut berpartisipasi.

Suara jeritan Luna kembali terdengar. Dan cahaya yang melingkupi tubuh gadis itu musnah bersama dengan tubuhnya yang jatuh bebas. Dalam detik-detik menyiksa itu, Zean menghancurkan es yang hampir merubah dirinya menjadi patung es, lalu dengan cepat meleset dan menangkap tubuh Luna yang hampir menabrak tanah dengan keras.

Namun sebuah cahaya lain muncul di sisi lain, di antara dua pohon yang berdiri sejajar dan tampak serupa tanpa cela, sebuah pohon kembar. Satu-satunya jalan menuju lokasi di mana pohon elm berada. Portal yang hanya bisa di buka dengan element es itu terbuka.

To Be Continued

To Be Continued

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The Frost Souls ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang