Bayangan 2

22 4 3
                                    

Kali ketiga, di malam ketiga Falisha merasa tidak enak badan. Ia sulit sekali untuk tidur, tubuhnya sedikit lemas dan tangannya pun sulit untuk menggenggam. Bukan pertama kalinya lagi Falisha merasakan jantungnya sering berdegup kencang dan cepat. Kepalanya sering pening, hari ini ia juga baru ingat kalau dia hanya baru makan sekali dari pagi karena tidak lapar sama sekali.

Dia sendiri yang memikirkan kenapa bisa tidak lapar padahal biasanya ia makan sangat banyak. Bibir Falisha juga sering kering sekarang, lidahnya sering pahit. Falisha mengangkat kedua tangannya setelah menyalakan lampu remang di kamarnya. Dalam keadaan berbaring ia menggerak-gerakkan jarinya lalu diam dan membalikkan punggung tangannya. Tangannya tremor. Aneh bukan?

Falisha juga ingat kalau ia sangat jarang minum. Kukunya juga kadang-kadang menjadi warna kebiruan pada ujungnya kalau sehabis mandi dan kedinginan. Tapi setelah itu, hilang lagi.

Tanpa berpikir panjang, Falisha mencoba untuk tidur dan akhirnya setengah jam kemudian ia terlelap.

Batu itu sangat besar. Kali ini Falisha benar-benar sendirian di ruangan terbuka. Hanya ada suasana awan mendung, pepohonan, rumput, dan dirinya. Ia berjalan, berteriak memanggil berharap ada orang di sana. Nihil.

Falisha duduk sambil berhati-hati di atas batu besar di antara rumput-rumput yang ada di sana. Ia menangis di atasnya dan memeluk dirinya sendiri, "Kenapa gue di sini. Hiks." Falisha makin kejer. Saking kencangnya ia menangis dalam batinnya. Ia tidak sadar kalau di hadapannya ini sudah ada orang yang menemuinya.

Perawakannya tinggi, memakai sepatu hitam, celana hitam, dan kaos hitam. Semuanya serba hitam. Tubuhnya berkulit kuning langsat. Namun satu hal, Falisha tidak bisa melihat ke arah wajahnya. Rasanya berat.

Pria itu mulai duduk dan memerintah Falisha juga untuk duduk di hadapannya, ia memeluk Falisha. Mendekapnya dengan erat hingga Falisha bisa menumpahkan semua air mata di dada bidangnya. Anehnya, bukannya Falisha berhenti menangis setelah keadaan tenang, justru ia semakin deras mengeluarkan air matanya seakan beban di hatinya harus ia keluarkan saat itu juga.

Falisha membuka pejaman matanya. Ia menangis sekaligus ngos-ngosan dan membuka sedikit mulutnya. Ia menoleh ke kanan dan melihat bantalnya basah. Matanya sendiri juga ia sentuh karena masih belum sadar bahwa Falisha juga menangis.

Falisha menyeka air matanya dan mengontrol napasnya. Ia mengedipkan matanya berulang kali sampai ia benar-benar sadar. Tangannya mengusap wajahnya gusar. Ia mengerutkan keningnya. "Cuman mimpi." Falisa menghela napasnya lalu membuangnya.

Jam menunjukkan pukul 02.00 AM. Sebenarnya Falisha tidak berani untuk tidur kembali, namun apa boleh buat. Akhirnya ia memutuskan untuk tidur lagi agar paginya merasa bugar.

***

"Mamaaa!" Teriak Falisha.

Falisha mimpi lagi. Sudah akhir-akhir ini ia mimpi tidak jelas, entah hanya suara, atau kadang mengalami sleep paralysis. Setiap bermimpi tubuhnya selalu seolah tidak bisa digerakkan. Falisha bergetar, kelopak matanya sangat sayup. Ia beranjak dari kasurnya untuk mencuci wajahnya.

Semua keluarganya sedang berada di luar kota saat ini, termasuk Mamanya. Ia tidak tahu harus bercerita pada siapa tentang hal yang selalu ia alami berulang kali. Bibirnya kini bergetar perlahan hingga hebat, air matanya sudah meluap akhirnya ia tumpahkan saat itu juga. "I believe I can."

Tok! Tok! Tok!

Falisha segera menyeka air matanya dan berjalan keluar untuk melihat siapa yang datang. Sebelumnya ia mengintip dahulu ke arah jendela.

Benar saja, Galen lah yang ada di sana. Ia segera membuka pintunya dan langsung menyapa Galen.

Galen tidak menyapa kembali melainkan seperti terkejut dengan Falisha, "Lo abis nangis?" Tanya Galen.

Falisha menggeleng. Wajahnya pucat.

"Gak bisa boong." Galen mendekap Falisha perlahan. Deja vu!

Falisha makin tidak bisa mengontrol perasaannya. Ia menangis lagi dan lagi. Ia menggenggam Galen dengan sangat erat bahkan sampai Galen merasa ada yang salah dengan Falisha.

"Jangan tinggalin gue, Len, gue takut." Falisha makin terisak dan Galen pun langsung menangkap wajah Falisha semakin dalam pada dada bidangnya.

"Gak ada yang mau ninggalin lo, Ais!" Galen menenangkan Falisha. "Nanti kalo udah bisa cerita, cerita ya ada apa, jangan dipendam sendiri. Ais harus jadi Ais yang dulu, gak boleh. cengeng."

Sejujurnya Galen khawatir dengan Falisha, sangat. Namun ia tidak tahu apa yang terjadi padanya. Galen meminta Falisha untuk masuk dan beristirahat di dalam sampai Falisha berhenti bersedih. Ia mengambil bingkisan yang ia bawa yang berisi minuman kemasan yogurt dan segera membukanya untuk Falisha.

"Kesukaan lo nih, pisang!" Galen mencubit kedua pipi Falisha. Falisha hanya tersenyum malu karena matanya sangat sembab.

"Makasih ya, Galen!"

Falisha langsung meminumnya tanpa aba-aba. Ia sangat suka sekali semua makanan berasa pisang, mulai dari makanan dan minuman harus ada rasa pisang di sana. Galen tidak hanya membawa minuman, ia juga membawa banana nugget rasa green tea kesukaannya.

Falisha merasakan ada yang aneh dengan mimpinya. Lagi-lagi ia memikirkan mimpinya itu. Ia menatap Galen tanpa Galen sadari. Hatinya tenang saat melihat Galen, bukan hanya Galen yang tahu arti namanya. Falisha juga tahu kalau Galen artinya tenang. Tuhan pasti punya alasan untuk Galen tetap berada di sini untuk menemani Falisha.

"Galen." Panggilnya lirih.

"Kenapa?" Tanya Galen dan menoleh ke arahnya.

"Lo lagi gak tertarik suka sama orang apa?" Tanyanya spontan.

"Kalo gue suka sama orang, gue gak mungkin deket sama lo Ais, kasian pacar gue nanti kerjaannya overthinking terus." Ujar Galen secara mendalam.

"Bercanda kali lo, emang gue perusak hubungan orang apa yeee!" Falisha tertawa kecil dan memukulnya pelan.

Galen menatapnya dalam-dalam, "Lagian kalo gue punya pacar, siapa yang bakal jagain lo di sini, pas banget gue liat lo nangis pula."

Ucapan Galen benar-benar membuat Falisha salah paham, setiap kata yang Galen ucap selalu membuat nyaman, tapi kadang membuat Falisha berpikir keras. Ada masanya Falisha ingin terus ditemani Galen, ada masanya Falisha takut kalau di antara mereka menjauh satu sama lain. Tapi Falisha yakin, Galen itu sahabat yang tidak pernah mengecewakan Falisha. Selama ini, dan selamanya.

"Falisha Olivia, dimakan. Jangan bengong ya." Pinta Galen dengan candaan.

Falisha tersenyum manis. Keliatan begitu bahagia di mata Galen. Anak rambut berwarna ash brown ia diselipkan ke belakang telinganya. Mulutnya penuh dengan makanan. Satu hal, Falisha tenang.

Bayangan Per(Kata)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang