"Lihat! Aku menyukai foto yang ini, aku terlihat cantik di sini." Dara menunjuk salah satu foto yang tersimpan rapi di dalam album foto.
Gara menggumam pelan lalu menggeleng pelan. "Kamu selalu cantik. Apalagi kalau sedang tidur dengan mulut terbuka."
Dara mendengus kesal lalu memukul lengan Gara yang sedang tertawa.
"Gara."
"Ya?"
"Bagaimana jika aku tidak bisa mencintaimu lagi?"
Pertanyaan Dara seolah menampar Gara. Namun dengan santai ia menjawabnya, "Merelakan kamu. Apalagi?"
Dara menggigit bibirnya. "Tidak memperjuangkan?" tanya Dara lagi. Gara terkekeh pelan. "Bukan cinta, namanya. Itu terdengar obsesi. Kalau kita memang ditakdirkan, pasti akan bersama, kan?" tutur Gara lalu menatap album foto.
Foto itu saat merayakan hubungan mereka yang kedua tahun. Gara mengerjai Dara habis-habisan, membuat gadis itu hampir ingin mencaci-maki, menampar, menendang, kalau bisa membunuh.
"Aku minta maaf, Gara."
Gara menghela napas. Gadis-nya itu selalu saja meminta maaf. "Bukan salahmu, Sayang."
Rona merah di pipi Dara terlihat jelas saat Gara mengucapkan kata terakhir. "Aku jadi membayangkan seperti apa kita dulu. Aku-"
Ucapan Dara terputus begitu saja ketika dengan cepat Gara mencium gadis itu, tepat di bibir.
Agak lama Dara diam karena perlakuan Gara yang tiba-tiba itu. Namun, pada akhirnya pun ia membalasnya.
"Dara, kalau ragu, jangan dibalas. Kamu membunuhku perlahan. Jangan memberi harapan, cukup aku saja yang membuat harapan." Gara berkata demikian setelah melepas ciuman keduanya dengan Dara.
Gara tidak pernah memikirkan bagaimana nantinya. Ia mungkin tidak memikirkan, apakah ada ciuman ketiga? Atau itu ciuman terakhirnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
The One Who Waits
Short StoryMenunggu. Menanti. Hanya itu yang bisa Gara lakukan. Ia menyesal dengan apa yang terjadi setahun lalu. Kini ia kembali mencari dan mencoba menghubungi Dara. Tapi, apakah setelah menunggu ketidakpastian ini Dara akan menerima Gara kembali masuk ke da...