Saya mengharapkan Anda untuk rontok bersama daun mapel di sudut taman kota yang sunyi-katanya dalam benak.
Sore hari ini tampak dan terasa lebih dingin dari biasanya. Seperti panorama yang biasanya muncul di petang hari, akan ada beberapa burung gereja melintasi langit yang hampir oranye. Matahari telah menyingsing pun menari-nari sejak dimulainya fajar tadi, tetapi tidak seterik biasanya. Cahayanya nan agung mungkin sedang berbagi kuasanya-terasa tidak adil pula-ketika melihat beberapa sosok manusia tidak dapat meraih sinarnya. Ia yang berkulit pucat itu sedang menunggu sesuatu. Berdiri di antara bulan dan matahari-karena musim gugur diapit oleh panas dan dingin-sungguh analogi yang luar biasa, katanya.
Daun mapel rontok bercumbu dengan muka Bumi, aroma Shiraz melekat pada toko wine sunyi tepat di ujung gang. Semilir angin menyiram kota tanpa dengung suara. Ada seseorang di sana-berdiri di depan rumah tua yang catnya telah mengelupas bersama masa. Akar serabut menghiasi gerbang yang tergeletak rubuh, pun daun-daun kering bermain di perkarangan. Jalanan aspal yang tepat di depan rumah tersebut tiada kendaraan. Kota ini sunyi. Sepi. Muram. Langit bercahaya redup-tidak mendung, hanya intensitas cahaya yang lebih rendah dari biasanya. Pepohonan yang berbaris rapi di dekat bulevar memunculkan reminisensi oranye tua dan terang, menjatuhkan daunnya ke gravel-gravel pucat. Sesekali, dedaunan dari perkarangan terbang ke sisi atau tengah jalan, menciptakan memori sepia di benak manusia tersebut.
Gaun putihnya yang koyak tetap nirmala, walau cacat dalam benaknya. Pikirnya, telah selesai empat musim ia meratapi bongkahan-bongkahan tanpa penghuni. Setiap kakinya melangkah masuk, ia tatap garis kapur putih di beranda sebagai ucapan selamat datang-sebagai sebuah isyarat dan tanda; ada yang pernah tergeletak tanpa jiwa di sana.
Musim gugur kali ini terasa lebih dingin, karena kamu sudah menjadi hujan yang sebenarnya-kawani sorak-sorak yang menghantu kepala Syel. Rasanya, tubuh rapuh itu seakan bisa terbang bersama aroma anggur yang berkawan angin. Ia kembali membalik setiap halaman dari memori. Mengingat sesosok malaikat yang tidak dapat terbang, lalu terpaksa menjadi salah satu dari rintik hujan.
Ia layukan lagi telinga, memutar audio lama yang pernah terekam alat mustamiknya-"Suatu hari, malaikat harus kembali ke tempat ia berasal. Entah itu di langit, ataupun tempat paling jauh yang pernah terbayangkan. Maka dari itu, biarkan aku merentangkan sayapku, dan terbang." Kepalanya melukiskan bagaimana setiap kalimat itu keluar dari labium Kai; ia yang telah menjadi hujan yang sebenarnya.
Pikirnya, dalam benak semua orang-Kai telah capai akan segala reruntuhan semesta alam, akhirnya membikin dia mencoba untuk menjadi salah satu bulir suci hujan, bukan lagi malaikat yang sering dielu-elukan. Syel tiada mafhum mengenai segala kausa yang dikuasainya. Acap kali, bagai genosida menjajahi isi kepalanya. Lukanya tak kunjung sembuh-sama sekali tidak tampak, membuat ia sering kali meringis ketika luka tanpa darah itu menyentuh air laut yang mengingatkannya dengan pada Kai.
"Semenjak hari itu, Syel kehilangan harapannya.
Ia menjadi lebih sering tidur, entah apa yang dimimpikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Autumn in You
Short StorySaya mengharapkan Anda rontok dari penjuru langit tergelap, kemudian berlari ke arah saya.