Baby For You (14)

4.9K 750 92
                                    

"Jadi mulai sekarang aku tinggal di rumah Wiraatmaja lagi?"

Aku mengalihkan pandanganku dari cermin bedak yang aku pakai untuk merias wajahku pada sosok Polisi yang ada di balik kemudi sampingku ini, jangan di pikir karena aku menikah dengannya aku akan berleha-leha menikmati waktuku sebagai seorang Nyonya, aku sadar diri dengan sangat jika aku bukanlah Helena Sutono yang hidup nyaman tanpa harus bekerja.

Jadi di sinilah kami sekarang, di dalam mobilnya menuju kantorku, bukan hanya aku yang bekerja, Mas Bagas pun tetap berdinas. Pernikahan kami kemarin seperti bukan sesuatu yang istimewa di antara kami. Pernikahan itu seolah angin lalu yang tidak perlu di ingat sama sekali.

Pria yang tampak tampan dalam balutan kemeja dongker dan celana bahan layaknya Mas Aditya yang akan meeting tersebut menatapku sekilas, ya, sebagai seorang Polisi di unit kriminal satu hal yang aku pahami, Mas Bagas lebih sering memakai pakaian bebas di bandingkan seragam dinasnya.

"Memangnya aku akan mengizinkan calon anakku tinggal di Kosmu yang kumuh itu?" Kos kumuh dia bilang? Ucapan mengejek dari Mas Bagas membuatku meradang, sombongnya dia ini berbicara asal mangap tanpa memedulikan perasaan lawan bicaranya, omong kosong dengan slogan polisi adalah pengayom masyarakat yang humanis. Bagas kadang adalah pria brengsek dengan mulutnya yang berbisa. "Tentu saja kamu harus tinggal di rumah Wiraatmaja, toh rumah itu nyaris berubah menjadi rumah hantu semenjak aku menikah dan Aditya memilih stay di apartemen dekat Pabriknya. Menaruhmu di sana sepertinya bukan ide yang buruk, jiwa pembantumu akan membuat rumah itu terurus. Bagaimana, kamu senang bisa tinggal di rumah mewah itu lagi?"

Kembali untuk kesekian kalinya aku berdecih saat melihat wajahnya yang arogan berucap, ya, aku dan Ibu memang miskin, kami bahkan menjadi pembantu di rumahnya, tapi percayalah, aku tidak segila yang ada di otak Mas  Bagas yang selalu melihatku seperti wanita gila materi.

Percayalah, setiap ucapan menyakitkan yang terlontar dari Mas Bagas ataupun keluarga Wiraatmaja lainnya terhadapku membuat aku yang awalnya pasrah dan diam saja menerima semua hal ini kini mulai membulatkan tekad untuk membalas semua rasa tidak adil yang aku terima.

Aku ingin membuat mereka, khususnya pria yang ada di depanku sekarang ini, berbalik menelan setiap ucapan menyakitkannya yang pernah dia berikan padaku.

Aku tersenyum kecil, senyuman penuh kepalsuan yang menutupi sakit hatiku dan akan menjadi topeng yang akan sering aku gunakan ke depannya di depan Mas Bagas dan semua orang yang mengenalku. "Tentu saja aku senang, tapi senang bukan karena bisa tinggal di rumah mewah, tapi aku senang, setidaknya aku tidak harus satu atap dengan wanita lain, cukup di pernikahan aku menjadi yang kedua, jangan di posisi yang lainnya."

Mas Bagas yang ada di sampingku hanya menggeleng mendengar apa yang aku ucapkan, mungkin saja dia sekarang sedang merangkai kata untuk menyakitiku lebih dari sebelumnya, tapi aku tidak peduli.

"Lagian ya, Mas. Nggak usah di ulang-ulang kalimat tentang Mas yang cinta setengah mati sama Mbak Helena, Nura sama sekali nggak mau tahu urusan hubungan kalian." Aku menoleh kembali ke arah Mas Bagas, memastikan jika dia mendengar apa yang aku katakan sekarang padanya dan menyimak baik-baik.

"Aku hanya akan memedulikan hubungan antara aku dan kamu, karena suka atau tidak suka, kamu juga harus sadar semenjak kamu mengucapkan ijab qabul atas diriku, kamu sudah mengambilku sebagai tanggung jawabmu. Aku adalah istrimu, dan kamu adalah suamiku. Nggak apa kamu nyakitin aku, itu adalah dosamu sebagai suami. Tapi jika aku bisa menyarankan penuhilah tugas kita masing-masing sebagai suami istri dengan sebaiknya, toh bukan untuk selamanya, hanya sampai kita punya anak, dan anak itu lahir ke dunia."

Aku bisa melihat mata tajam tersebut menatapku dengan pupil membesar, mungkin Mas Bagas tidak akan pernah mengira jika anak seorang pembantu sepertiku berani mendiktenya tentang status kami walau semuanya hanya sebuah kesepakatan, dan siapa diriku ini yang berani menceramahinya tentang dosa.

Mobil yang kini kami kendarai berhenti tepat di depan pintu lobby kantorku, masih dengan Mas Bagas yang tidak bisa berkutik dengan ucapanku barusan, entah dia benar merenungi atau justru sebaliknya, aku tidak tahu apa yang ada di kepalanya sekarang.

Seharusnya aku turun dari mobil, mengucapkan terimakasih karena Mas Bagas sudah berbesar hati mengantarkan anak pembantu sepertiku ke kantor, hal yang sebenarnya haram untuk seorang majikan, tapi bukannya turun aku justru beringsut mendekat pada pria yang terdiam ini, mengabaikan segala rasa malu dan juga harga diriku yang sejak awal sudah tergadai oleh keluarga Wiraatmaja.

Kedua tanganku terkepal, meyakinkan diriku sendiri untuk melakukan kegilaan yang tidak pernah terlintas di otakku akan aku lakukan pada pria masam yang  sama sekali tidak menarik perhatianku ini.

Aku sudah bertekad untuk membalas semua ketidakadilan yang aku rasakan ini, bertekad agar mereka merasakan ketidakberdayaan dan rasa kecewa yang aku rasakan, jadi untuk itu aku tidak boleh setengah-setengah. Nyemplung ya nyemplung saja sekalian.
Toh, aku sudah kehilangan segalanya. Menambahkan kata murahan dan agresif bukan masalah di belakang namaku.

Senyuman kecil tersungging di bibirku saat aku melihat jakun pria tampan ini bergerak, seumur hidup aku tidak pernah tersenyum semanis sekarang karena hidupku yang kelam, Mas Bagas mungkin tidak menyukaiku entah apa alasannya, tapi dia pria normal bukan, dan gerak tubuhnya menunjukkan hal yang berbeda dengan bibirnya yang pedas.

Melupakan jika mobil ini terparkir di depan kantorku, aku meraih kerah kemeja dongker Mas Bagas, menariknya mendekat tanpa dia yang menepisnya hingga hidung kami nyaris terantuk. Dari jarak sedekat ini aku bisa melihat betapa kelamnya mata tajam pria yang menjadi suamiku ini, terlihat menakutkan dan berwibawa di saat bersamaan yang menunjukkan kharismanya sebagai seorang Perwira Polisi.

Hembusan nafas hangat Mas Bagas yang menerpa puncak hidungku membuatku memejamkan mata untuk beberapa saat sebelum aku kembali menatapnya dengan memantapkan hati, jangan tanya bagaimana kondisi jantungku sekarang, mungkin jika ada alat EKG, alat itu akan jebol sekarang karena jantungku yang melompat-lompat di dalam rongga dada. Selama ini yang ada di otakku adalah mengejar karier, berusaha merubah nasib dan mengesampingkan perasaan apalagi perasaan cinta yang aku miliki untuk seorang pria yang tidak bisa aku gapai.

Dan berdekatan dengan pria adalah hal yang asing untukku, di mataku para pria itu adalah teman, bahkan seumur hidupku baru kemarin aku di cium di dahi oleh seorang pria yang ada di depanku sekarang.

Aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi perasaaanku yang menuntunku, tepat saat aku memejamkan mata, aku merasakan bibirku mengecup bibir Mas Bagas, merasakan hangat yang tidak pernah aku rasakan, serta gelenyaran aneh yang membuat perutku terasa mulas.

Astaga, aku nekad mencium suami masamku ini? Satu keterkejutan aku rasakan darinya, aku pun sudah menyiapkan diri jika Mas Bagas akan mendorongku atau bahkan memukulku karena tindakan lancangku, tapi yang terjadi justru sebaliknya.

Dia membalas ciumanku!

Nura, Baby For YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang