Bab 1

440 53 50
                                    

Vote and enjoy this story!

Tami menghirup udara di sekitarnya banyak-banyak, seakan ingin memenuhi seluruh rongga dadanya dengan udara kebebasan. Yah, kebebasan. Tami merasa bebas, sebebas-bebasnya saat ini. Hari ini adalah awal mula kebebasan yang akan Tami jalani di sebuah kota tanpa satu orang keluarga maupun temannya yang tahu.

Ia bahkan sudah menyiapkan segalanya untuk pelariannya kali ini. Pelarian pertama dan juga akan menjadi pelarian terpanjang dalam hidupnya. Tami akan menghabiskan beberapa tahun hidupnya di sini. Di sebuah kota yang merupakan kota di mana awal sejarah kehidupannya di mulai. Tetapi untuk kali ini, ia yang akan menuliskan sejarah hidupnya.

"Akhirnya sampai juga. Oh iya, gue harus buru-buru matiin ponsel nih. Jangan sampai ada yang lacak keberaadaan gue," gumamnya seraya meraih ranselnya ke depan tubuhnya.

Bugh. Tubuh Tami terhuyung ke depan. Lututnya seketika itu juga mendarat mulus di lantai bandara yang dingin. "Akh..." ucapnya seraya mengelus lututnya yang terasa nyeri. Perasaan gue sudah berdiri di tempat yang aman. Kenapa masih juga di tabrak. Kurang kelihatan apa wujud gue?

"Eh, maaf. Saya buru-buru," ucap seseorang yang menabrak Tami. Pria itu juga menolongnya berdiri, kemudian menepuk beberapa sisi tubuh Tami yang kotor karena terjatuh. Setelah itu, ia kemudian berlalu begitu saja meninggalkan Tami yang terbengong-bengong dengan wajah memerah.

Tami sebenarnya ingin marah pada orang itu, tetapi belum sempat ia membuka mulut, si pelaku sudah terlebih dahulu meninggalkannya yang masih syok. Tidak pernah ada seorang pria pun menyentuhnya dibagian yang pria itu sentuh. Pria itu memang membantunya membersihkan diri, tetapi tidak juga menepuk lutut dan pahanya seperti itu. Terlebih baru saja Tami ingin marah, pria itu justru pergi begitu saja. Dasar lelaki kurang ajar.

Tami mencoba menarik dan menghembuskan napasnya berulang kali guna menurunkan emosinya. Ini biasa ia lakukan jika sedang marah. Terlebih obyek kemarahannya saat ini sudah tidak ada. Jika saja saat ini ada sepupunya sudah pasti dia akan mengadu. Tetapi... tunggu dulu, dia kan pindah ke kota ini demi hidup mandiri. Demi menunjukkan pada orang-orang bahwa dia bukanlah makhluk lemah yang masih membutuhkan penjagaan. Lupakan, lupakan. Ingat kamu di sini sendiri. Harus bisa bertahan. Ini semua karena pria itu, awas saja jika bertemu nanti. Tami tidak akan segan-segan membuat perhitungan.

Tami kemudian menepuk kepalanya pelan, ia hampir saja lupa mematikan ponselnya. Segera ia mematikan ponselnya dan setelah dirasa aman, barulah ia melangkah keluar bandara. Melihat taksi yang berjejer menunggu penumpang, tanpa pikir panjang ia pun segera menaiki taksi yang menurutnya paling dekat dengan posisinya berdiri.

Tujuan Tami kali ini adalah sebuah rumah yang akan menjadi tempat tinggalnya sementara. Beberapa bulan lalu Tami memang sudah menyiapkan segala keperluannya selama kuliah di kota ini. Ia pun juga sudah mendapatkan kos yang letaknya tak jauh dari kampusnya, ditambah kosannya itu juga menjadi saksi bagaimana ayah dan ibunya bisa saling mengenal. Yah hitung-hitung ia bisa menggali cerita cinta kedua sosok yang sangat ia cintai itu, mengingat ia tidak pernah lagi mendengar cerita kebersamaan mereka semenjak sang ibu pergi meninggalkan mereka.

Pelarian Tami kali ini selain untuk pembuktian diri. Ia juga ingin menjajaki jejak-jejak yang ditinggalkan oleh sang ibu yang sudah meninggalkannya di usia sepuluh tahun karena kecelakaan pesawat. Kecelakaan yang mengubah segala hal dalam hidupnya. Selama di perjalanan, ia jadi mengingat orang tuanya. Masa-masa indah mereka dahulu sebelum kecelakaan itu terjadi. Masa-masa paling indah dalah sejarah hidup Tami.

Penasaran sama kelanjutan ceritanya, cuss ke aplikasi Fizzo, di sana lebih lengkap dengan ekstra part. Search aja "When We Meet"

When We Meet (Complete) Move To FizzoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang