Katakan saja, bahwa Jingga lemah. Menangisi Senja yang pergi meninggalkannya.
Tapi, kenyataan memang selalu kejam terhadapnya. Membuat ia terkadang membenci namanya.
Jingga terlalu indah untuk berduka. Tapi, sekali lagi, semesta bak selalu tak mengizinkan ia bersuka.
Bagaimana bisa, sosok Jingga yang identik dengan Senja bisa membenci sang swastaita.
Bukan salahnya, karena semesta yang selalu kejam merenggut Senja saat langit merah muda.
Lima bulan yanglalu, Jingga sempat hampir menyerahkan diri pada ombak yang siap memangsanya, dengan taburan indah bintang di nabastala yang menjadi saksi, betapa menyerahnya sosok Jingga yang kehilangan sang Mentari.
"Setelah bunda, kau juga renggut ayah, lalu kau renggut pula Jenaka, lalu sekarang kau kembali dan merenggut Mentari"
Jingga menatap hamparan kelam di atas sana. Tampak bersuka para gemintang menari dengan kerlap-kerlipnya. Tak menghiraukan sang Jingga yang masih berduka sejak langit berwarna jingga hingga menjelma menjadi hitam sempurna.
"Aku tak punya siapapun lagi, untuk kau renggut. Jadi, ambil saja aku"
"Tidak akan ada yang akan merasa kehilangan jika kau ambil aku"
"Jangan buat orang lain merasa kehilangan, dan jangan buat aku merasakannya, lagi."
Ia bersenandika dengan netra kosong yang menatap luasnya samudera di bawah sinar bulan purnama.
Pemandangan yang indah untuk sang astrophile.
"Aku tak membiarkan senja merenggutku seperti ia merenggut yang lainnya, aku akan mempersembahkan diriku kepada malam"
"Menjadi makanan untuk pesta bintang-bintang, riak ombak, dan sinar purnama yang kian bulat sempurna"
Lekuk sayu di matanya menatap lurus sempurna. Maju, melangkah kian dekat pada mulut pantai.
Ombak-ombak kecil menghempas kakinya hingga sampai betisnya basah.
Beralih sampai pinggangnya basah.
Lalu, sampai pada dada.
Ia ikut terombang-ambing mengikuti gerak ombak yang kian terasa menerpa wajah.
Tersenyum lebar kala memasrahkan diri kepada ombak yang sebenarnya tampak tak lapar untuk merenggut sebuah nyawa.
Matanya menutup sempurna, merasakan air asin itu sempurna membasahi dirinya, kakinya tak berinjak lagi pada dasar pasir.
Napasnya tak lagi di tahannya. Sepenuhnya pasrah atas kehendak sang semesta---tidak ini bukan kehendak semeste--- ini kehendaknya. Ia yang menyerah.
Benar, tak akan ada yang kecewa. Tak akan ada yang berdosa kecuali dirinya sendiri.
Benar, tak akan ada yang berduka atas dirinya. Dan yang paling penting, ia tak akan lagi merasakan duka yang sakitnya masih saja tak membuatnya terbiasa.
***
"Hei!! Bangun!! Hei!!"
Suara itu samar-samar terdengar dirungunya. Tamparan-tamparan kecil mulai menjadi jelas rasanya bersamaan suara itu semakin melengking.
Kembali ia rasakan dadanya terhenyak, napasnya masih tersekat. Sampai akhirnya ia sadar sempurna dengan air yang bebas dari mulutnya. Membuat pernapasannya kembali sempurna.
Sosok yang ditangkap netranya terus memukul punggungnya, sampai ia berhenti terbatuk.
Apa ini surga?
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Merah Muda Penuh Duka
Romansabaswara merah dan jingga di ufuk bhumantara terlalu indah untuk melambangkan duka. namun, kenyataan terlalu kejam untuk mengizinkan kita bersuka.