Tinggal di Yerusalem nampaknya menjadi momok bagi setiap raga yang senang membaca tagar berita disana. Namun, tidak bagi keluarga dari Benyamin Ben-Shimon yang bersedia dekat dengan Al-Quds untuk ketentraman batin. Beliau memiliki istri yang anggun bernama Sarah bint Hassan El Arab yang dikaruniai dua putra dan seorang putri.
Putri termuda satu-satunya, Hammara Ben-Shimon. Dia dideskripsikan sebagai gadis berkulit putih bak penghuni benua biru, tapi tidak kemerah-merahan dan berambut coklat tua. Di bawah alis tebal berjajar lentiknya bulu mata dengan sorot kedua mata kelabunya nan tenang memukau siapapun yang menatap. Dia sedang mengenyam pendidikan menuju strata satu dalam waktu dekat. Suatu ketika di perpustakaan kampus dia di sapa oleh kawan pria sejawatnya.
"Hei Hammara, sepertinya ini bisa menjadi referensi untuk skripsimu" Sambil memperlihatkan sebuah buku tentang perundang-undangan dari negara barat.
"Terima kasih, Danny. Hanya saja aku masih mencari buku tentang warisan Yerusalem" Ujar Hammara sembari memilah-milah buku di rak.
"Bagaimana kalau aku mengantarmu pulang hari ini?" Ia berupaya untuk mencari perhatian Hammara.Lalu, bel berbunyi dan Hammara berpamitan untuk kembali ke kelas. Tinggalah Danny di perpustakaan sambil membenahi kippahnya sembari merelakan Hammara. Sepulang kuliah, dia disambut oleh kakaknya yang sedang menggarap tugas di ruang tamu.
"Adikku, kau pulang cepat hari ini"
"Iya. Kak Noman, ibu dimana?"
"Sedang mempersiapkan hidangan untuk makan malam" Jawab sang kakak sambil mengerjakan tugas di laptop.Tak lama kemudian datanglah kakak sulungnya berbusana jas putih menenteng tas ransel dan mengucapkan salam.
"Semoga kedamaian menyertai kalian"
"Semoga kedamaian juga menyertaimu" Sahut Hammara.
"Noman, apakah kau mendengar ledakan dari kampusmu?
"Aku tidak mendengar apa-apa di kampusku selain bunyi uji coba petasan roket kami di udara" Jawab Noman yang masih sibuk dengan laptopnya.
"Kak Ibrahim, bukankah amarah granat merupakan bunyi yang familiar bagi kita" Timpal Hammara.*Terdengar suara dari pintu*
"Apakah itu suara dinamit dalam hitungan mundur?" Tanya Hammara membidik kosong ke arah pintu.
"Bukan, itu bel rumah kita" Kata Ibrahim berjalan menuju pintu."Ayahhh....!!!" Teriakan paling seru ialah Hammara kala melihat kepulangan ayah tentaranya.
Tentu pelukan sang ayah pertama kali diraih oleh Ibrahim yang membukakan pintu. Ayahnya juga membuka tangannya selebar mungkin untuk merangkul ketiga buah hatinya.
"Dimana ibu?"
Sarah yang masih mengenakan celemek keluar dari dapur berjalan cepat menuju suaminya. Mereka saling berpelukan melepas rindu.
"Lihatlah betapa rindunya ayah kepada ibu" Ujar Hammara yang penuh haru.
Malam pun tiba. Di ruang makan, Hammara membantu ibunya untuk mempersiapkan hidangan di meja makan. Obrolan panjang pun berjalan di saat semuanya saling menikmati hidangan penutup.
"Hammara, wisudamu sudah semakin dekat. Ayah berharap kedewasaanmu untuk memikirkan pernikahan" Ungkap ayahnya yang mencicipi sesendok puding.
"Mengapa para gadis ketika memasuki umur 20-an harus memikirkan pernikahan"
"Nak, kau sudah berumur 21 tahun"
"Ayah, Hammara masih ingin berpergian ke luar negeri"
Apa yang kau cari? Dunia ini sama saja, setiap tempat mempunyai baik dan buruknya"
"Setidaknya Hammara menghirup udara sehat di luar negeri"
"Kau mestinya sudah terbiasa waktu ke rumah nenek di Suriah" Kata sang ayah mulai menatap putrinya.
"Hammara malah iba. Tiada hal yang bisa Hammara lakukan selain mendoakan mereka di Masjidil Aqsa"
"Hammara, pada akhirnya ini merupakan kekuatan akan pertahanan. Jikalau mereka berserah diri, maka kedamaian tetaplah utuh" Tegas ayahnya.Hammara segera menghabiskan hidangan penutupnya dan menaiki tangga menuju ke kamarnya. Melalui laptopnya dia mencari referensi destinasi luar negeri yang cost-living.
Tibalah hari wisudanya yang dihadiri oleh keluarga kecilnya. Selang beberapa hari usai hari bahagia tersebut, Keluarga Benyamin kedatangan tamu.
"Selamat datang, Tuan Abrams. Silakan duduk"
"Putraku Harris baru saja pulang dari tugas militernya di Amerika. Dia mengungkap betapa rindu dia kepada Tel Aviv"Turunlah Hammara dituntun oleh ibunya untuk bergabung bersama ayah beserta tamunya.
"Ya Tuhan, dia cantik sekali" Gumam Harris yang menganga kala melihat Hammara.
"Hammara perkenalkan dia teman ayah, Tuan Abrams dan putranya, Harris. Bagaimana menurutmu?"Hammara tak berkomentar apapun selain, "Maafkan Hammara, ayah. Tapi Hammara ingin membasuh wajah di kamar. Permisi"
Lalu, dia pergi ke kamarnya.Dia mengurung diri dengan mencari lowongan pekerjaan dari internet. Dia melamar tiga lowongan yang sreg di hatinya. Keesokan harinya, dia mengemudikan mobilnya ke salah satu perusahaan yang dia lamar. Tibalah disana, dia berjalan menuju tempat pelayanan.
"Permisi, saya hendak melakukan wawancara dan berkas lamarannya saya bawa"
Dengan ramah petugas tersebut berkata, "Baiklah, saya hubungkan ke pihak personalia terlebih dahulu"Usai menutup telepon, petugas pelayanannya meminta Hammara untuk tetap membawa berkas lamarannya.
"Personalia kami sedang izin, maka saya antarkan langsung menemui atasan kami"
Dengan memeluk berkas lamaran tersebut, Hammara menaiki lift tabung menuju ruang pimpinan. Lalu, dia pun mengetuk pintu.
"Silakan masuk" Sahut dari balik pintu.
"Selamat pagi..."Dia terkejut dipertemukan dengan seorang pria berbusana jubah putih dilengkapi gutrah yang menjadi ciri khas warga semenanjung arab. Wajahnya masih tertutup laptop.
YOU ARE READING
Her Arabian Boss
AdventureHammara Ben-Shimon adalah seorang gadis keturunan bangsa Ibrani yang gemar berpetualang. Hingga suatu insiden, dia bertemu dengan pejabat tertinggi eksklusif yang berdarah murni arab. Tumbuhlah rasa saling tertarik dan berhasil membuat Hammara jatuh...