1.Take It Or Leave It?

2.3K 318 34
                                    

PoV Raynia

"Rumah cat biru depan ya, Bang," aku menunjuk sebuah rumah satu lantai.

"Iya, Kak."

Akhirnya setelah sempat basah kuyup sepanjang jalan, aku sampai juga di depan rumah. Ini semua gara-gara Rakha! Dia yang janji akan mengantarku pulang, dia sendiri yang menurunkan aku seenak jidat di jalan. Huft!

"Maaf ya, Kak, jadi basah," ucap driver ojol dengan wajah bersalah.

"Eh, nggak apa, Bang, emang saya yang minta lanjut kok."

Aku turun dari motor lalu menyerahkan helm berwarna hijau dan jas hujan ponco kepada driver. Yah, aku memang memakai jas hujan, tapi derasnya air beradu dengan angin, membuat jas hujan yang hanya menutup setengah badanku tak berfungsi dengan semestinya.

Selesai membayar ongkos ojek secara tunai, aku pun segera mengetuk pintu. Berharap ibu belum tidur, dan bersedia membukakan pintu.

"Assalamualaikum," salamku saat pintu terbuka.

"Kok jam segini baru pulang, Nia? Sampai basah gini?"

"Iya, Bu, tadi toko ada pesanan kue dadakan. Jadi, kita semua pada lembur."

Aku tidak bohong, siang tadi, toko memang kedatangan tamu yang memesan banyak cupcake. Hingga persediaan di etalase habis dan harus mengadon ulang. Tapi, aku memang sengaja, tidak atau lebih tepatnya belum, menceritakan kedatanganku ke rumah Rakha untuk memenuhi undangan makan malam kepada Ibu.

"Ya udah, mandi dulu sana pakai air anget. Biar nggak masuk angin."

"Iya, Bu."

"Kamu udah makan?"

"Udah tadi, Bu."

"Ya udah, kalau gitu sayurnya ibu masukin kulkas lagi. Biar besok tinggal dianget."

Aku mengangguk sambil berjalan ke kamar, sebelumnya aku mampir ke kamar kedua adikku. Aku berjalan menuju ranjang dan menghampiri Rasya dan Rezki. Kuusap lembut kepala keduanya yang sudah terlelap.

Setelah puas memandangi dua adik kesayangan, aku kembali berjalan ke kamar. Segera aku membersihkan diri dengan air hangat sebelum tidur. Usai menyelesaikan rutinitas malam, kulihat ibu masuk ke kamar.

"Tadi Ibu habis bawa Rasya kontrol, terus dokter bilang, Rasya harus cepet dioperasi."

Bisa kulihat helaan napas ibu dari pantulan cermin meja riasku. Reflek aku pun mengikutinya.

"Udah dapet berapa donasinya, Nia?"

Aku segera menyambar ponsel di meja dan membuka aplikasi donasi. Sedikit kecewa, karena kulihat angka donasi belum bertambah signifikan.

"Masih dua puluh jutaan, Bu."

"Masih jauh yah, harus nunggu berapa lama biar terkumpul dua milyar?" Wajah Ibu terlihat sendu.

Pertanyaan yang sulit aku jawab, karena aku pun tak tahu jawabannya. Aku sudah mencoba berbagai cara untuk menggalang donasi demi biaya pengobatan adik bungsuku, Rasya.

Tapi, aku pun tak bisa memaksa orang-orang bahkan mengemis agar mereka berdonasi lebih banyak. Meski aku sudah mendaftarkan akun pada platform donasi terbesar di negeri ini. Tetap saja, belum bisa menyentuh angka yang diminta oleh pihak rumah sakit.

"Nanti Nia coba cari cara lain ya, Bu. Semoga kita ketemu orang baik yang mau bantu operasi Rasya."

Aku mendekati Ibu dan memeluknya, mencoba berbagi kekuatan, yang entah sisa berapa bar lagi. Rasanya, aku pun sudah ingin menyerah dan melambaikan tangan saja pada takdir yang begitu tak adil.

RAINBOW CAKE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang