Sabrina
Besok seharusnya aku dan ketiga sahabatku pergi ke negara dimana Papa dan Mamaku tinggal untuk sementara. Dan kami malah bertengkar seperti ini. Aku sih yakin mereka tidak akan jadi ikut. Kalau mereka memang mau jalan-jalan, pastinya tidak akan ada yang mengajakku. Karena Ucup yang kuyakin sangat mempercayaiku pun tak kusangka malah seperti ini. Dan aku sangat sangat yakin mereka begini bukan untuk mengerjaiku di hari ulang tahunku. aku sangat tahu bagaiman kemampuan akting Dita dan aku bisa menilai kejujuran dari setiap kata-katanya kemarin.
"Kenapa? Kenapa lo harus dateng? Gue ga bisa terima siapapun yang deketin Bryan. Gue ga nyangka lo yang gue anggep pelindung gue, malah nusuk gue kaya gini. Gue sama dia udah ga akan bisa dipisahin lagi, jadi lebih baik lo kubur aja perasaan lo itu."
"Gue ngomong kaya gini karena lo ga ngerti gimana hubungan kita. Kita emang ga ada status, tapi kita udah terikat sama janji, Sab. Lo ga bisa misahin kita berdua."
Terikat janji apanya? Mereka nikah?! Huh, aku tidak mengerti dengan semua orang sekarang.
Aku berjengit kaget ketika kurasakan benda di tanganku bergetar. Papa menelfon.
"Halo, Sabrina?" Suara papa terdengar beberapa saat setelah tanganku menggeser tombol berwarna hijau di layar Hp-ku.
"Iya, pa?"
"Sudah siap untuk besok pagi? Jangan sampai telat dan jangan sampai ada yang tertinggal ya!"
"Iya, ini aku juga lagi nyiapin kok." Aku berjalan ke lemari dengan terburu buru dan mengeluarkan koperku dari sana, kemudian tanganku dengan gesit mengambil pakaian-pakaianku dan meletakkannya asal di atas koper yang terbuka.
"Kayaknya baru mau nyiapin deh maksud kamu." Papa terkekeh di seberang sana. "Ohya, siapa teman kamu yang ikut kemari?"
Pertanyaan Papa membuat pergerakan tanganku terhenti. Aku harus bilang apa? Bahkan sekarang rasanya aku ingin menangis.
"Eng.. Aku pergi sendiri aja Pa. Kasian kalau temanku juga ikut. Harusnya kita istirahat karena beberapa bulan lagi sudah ujian." Perkataan itu keluar dengan lancar dari mulutku. Sudah kubilang kan? Aku pandai berakting.
"Benar juga. Yasudah, kamu hati-hati ya. Sudah dulu, Papa ada pekerjaan. Bye sayang."
Aku meletakkan handphoneku di sisi tubuh. Lalu mulai membereskan barang-barangku lagi. Tidak banyak yang aku bawa, karena kemungkinan aku disana hanya beberapa hari.
Kalau dipikir-pikir, sepertinya lebih menyenangkan pergi sendiri. Iya kan? Aku tidak harus berebut kursi pesawat, tidak harus repot karena teman yang lain, dan aku bisa bebas menikmati negara kangguru itu sendirian. Iya kan?
Iya, karena mulai sekarang aku harus terbiasa sendiri. Bukannya lebay, tapi kalau kasusnya Ucup sudah kecewa padaku seperti itu, pasti akan butuh waktu lama agar dia kembali ke sisiku. Itu pun harus ada yang menjelaskan keadaan sebenarnya bagaimana. Sedangkan sekarang? Siapa yang mau menjelaskan? Dita tidak mungkin, Bryan apalagi. Aku? Yang ada aku dikira bohong.
Pintu kamar diketuk. Aku menoleh dan melihat kepala asisten rumah tanggaku berdiri di ambang pintu.
"Kakak makan dulu yuk? Belum makan daritadi, kan?" Ajaknya lembut. Berharap aku akan menurutinya, tapi entah kenapa aku yang biasanya banyak makan jadi tidak memiliki nafsu dua hari ini.
"Nanti saja Ma, aku tidak lapar." Jawabku setelah mengalihkan pandangan pada koper di hadapanku dan melanjutkan membenahi pakaian pakaianku.
Aku dapat merasakan seseorang kini berdiri di belakangku. Tapi aku tetap melanjutkan mengemasi barang barang bawaanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Complifeated
Подростковая литератураApakah kalian setuju jika aku berkata kisah remaja yang paling sulit adalah ketika ia jatuh cinta pada laki-laki yang juga dicintai sahabatnya? Menurut kesimpulanku begitu, karena jika dia adalah sahabat yang paling baik padamu, apakah kau tega memb...