Part 9. Mencari Kayu

1.2K 146 36
                                    

Jogja 2019


Suara kicau burung menyapa semesta. Kepulan asap dari pawon beriring aroma gurih dari bubur yang meletup-letup.

"Nduk, Harun kemarin kirim uang. Katanya ibu disuruh beli baju baru, buat siap-siap datang ke wisudaanmu."

Arin yang tengah mengaduk bubur dengan centong kayu berukuran besar, menoleh pada wanita lima puluh delapan tahun itu.

"Bu, kenapa ibu terima?"

"La ibu ndak ngerti mbalikine piye."

"Berapa uang yang dikirim?"

"Ndak tau. Dia cuma telpon, katanya minta doa, bentar lagi istrinya lairan."

Arin menelan ludah.

"Ibu selama ini udah tahu kalau bang Harun sudah punya istri?"

"Yo tahu, tapi dulu dia nikah di Aceh. Dulu pas kamu masih SD."

"Kok ibu nggak bilang sama Arin?"

"Loh kenapa? Semua orang juga tahu Harun sudah punya istri. Apa kamu nggak tahu?"

Arin menggeleng. "Baru tahu pas di bandara bulan lalu."

"Makanya, kamu itu jadi orang jangan egois. Sukanya cerita tapi ndak mau dengerin cerita orang. Ya begitu itu. Kalau ada orang cerita, gantian didengerin. Bukan cuma masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Setengah-setengah aja."

Arin menghembus napas. Suara berisik dari wajan di tungku sebelah terdengar saat Aminah memasukkan tahu isi ke dalam wajan.

Gadis tadi tidak dapat mengelak, perkataan sang ibu sangat benar. Dia, adalah orang yang tidak peka. Lebih tepatnya hanya peka terhadap apa yang dia suka saja.

"Bulik! Bulik! Ada tamu."

Bocah berusia lima tahun itu berteriak memanggil tantenya.

"Siapa, Naz?"

"Pak tentara."

Arin mengernyit.

"Bu, tak tinggal sebentar."

"Yo."

Arin segera menemui tamunya. Benar saja, seorang pria berkaos hijau dengan celana loreng berada di teras rumah joglo berlantai tanah peninggalan sang kakek.

"Bang Prabu?"

Pria tadi tersenyum, rambutnya kini terlihat lebih rapi dari beberapa hari lalu. Aroma parfum maskulin tercium, tidak sekuat parfum Riko memang, tapi Arin cukup bosa membedakan selera dua pria itu berbeda.

"Hai, katanya butuh bantuan?"

"Bantuan?"

"Nyari kayu bakar katanya?" kata Prabu sembari memperlihatkan ponselnya.

Arin terkekeh. "Wah, gercep ya si Bapak. Tapi seriusan aku nggak ngodein loh."

"Lain kali, dari pada ngode mending kamu telpon langsung. Aku pasti dateng kalau pas lagi nggak dinas."

"Beneran, Bang. Aku nggak ngode. Memang sekarang jatahnya ambil kayu di hutan. Eh kebun. Kalau hutan kesannya serem."

Prabu terbahak. "Hutan? Serem? Apa kabar sama seragamku?"

Arin mengernyit kemudian memahami maksud Prabu.

"Iya deh iya, Pak tentara mana ada takut sama hutan."

Prabu masih tertawa.

"Masuk dulu, Bang. Aku harus bantuin Ibu dulu di dapur. Habis itu baru ambil kayu."

Green or Pink (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang