24. Bahagia, Ni?

13.2K 1.2K 47
                                    

Terik matahari mulai meninggi, semakin panas dan menyilaukan mata. Nia bersama Ghani, Genta, dan Karel sudah menepi di bawah pohon pinggiran halaman SMP Tunas Asia.

Tak jauh dari mereka ada sebuah panggung yang tak terlalu besar acara pensi tahunan sekolah untuk menyambut angkatan tahun ajaran baru. Di atas sana lagi ada penampilan menari tarian Bali.

Nia memperhatikan Ghani lagi fokus menatap ke arah sana sambil memegang kipas elektrik, bocah itu sejak tadi rewel karena panas dan gerah. Tak sabar ingin cepat-cepat melihat Dista. Matanya menatap tak berkedip pada penampilan itu, lucunya.

"Jadwal Dista katanya abis Dzuhur." Genta menghela napas sudah lelah. "Aku udah laper, apa kita nggak bisa makan dulu sekarang?"

"Makan di depan sekolah yuk banyak warung," jawab Nia.

"Nggak mau di kantinku, Ma? Karena ada acara mereka dibolehin jualan hari Sabtu ini. Biasanya yang jualan tukang minuman buat jualin ke anak yang biasanya ekskul."

"Boleh ke sana? Ya udah, nanti kamu cariin tempatnya ya? Dista bisa makan siang bareng kita nggak ya?" gumam Nia sambil melirik ke arah ruang kelas belakang panggung yang dijadikan backstage, tadi Dista bilang dia akan di sana bersama teman-teman dan seniornya.

"Dapet makan, Ma, lagian dia bakal susah ditemuin lagi sebelum tampil," jawab Karel.

"Tadi aku kagum dan terpesona liatin Dista cantik banget pake make up, sekarang udah keliatan bedanya. Dulu kayak anak-anak mau tampil 17an, sekarang udah kayak remaja keren."

Nia membayangkan bagaimana Dista kecil yang didandanin lucu. Ternyata nostalgia seperti ini membuat Karel mampu mengingat kenangan bersama saudaranya.

"Beda ya sekarang? Dulu kayak anak kecil, sekarang udah gede," sahut Genta.

"Kamu juga Bro udah gede!!" seru Karel nabokin lengan Genta.

"Aku udah gede kok, semenjak ... ah, udah lama tahu," kilah Genta.

"Ahahahaa, Aku tau hal itu, Bro," kekeh Karel iseng.

"Udah deh, jangan ngomong hal kayak gitu!" Genta mendecak.

Nia sepertinya memahami obrolan aneh mereka. Kalau Karel sih jelas anaknya suka frontal, sedangkan Genta terlihat tak nyaman malu-malu sampai wajahnya yang biasanya putih itu memerah kayak kena sunburn.

"Nanti waktu Dista tampil aku mau maju," ucap Karel sambil mengipas-ngipas leher dengan tangannya. Matanya masih melirik ke arah gerombolan orang yang berjejer memenuhi depan panggung.

"Jangan modus, Mas, bilang aja mau liat cewek-cewek," celetuk Genta yang sedang garuk-garuk alisnya karena ketempelan keringat sebesar biji jagung.

Tawa tak bisa ditahan lagi Nia menggoda Karel yang langsung cengar-cengir penuh makna. "Cari kenalan Mas, seniornya Dista."

"Ma, jangan kasih izin dia pacaran dulu!" sergah Genta mendelikan mata sewot.

"Iri ya, kamu iri karena masa sekolahmu bakal dijejeli sama pelajaran kelas Aksel, hahaha," tawa Karel membahana.

"Belum masuk, jangan ngeledek deh kalo aku nggak lolos malu tahu. Nyesek banget," jawab Genta.

"Maa, aku haus!!!" Ghani lari ke arah sang ibu dan memegang tangannya menggoyangkannya pelan. "Aku mau minum, haus lagi."

Terhitung sudah berapa botol air mineral yang mereka habiskan. Nia membantu Ghani membuka tutup botol dan memberikannya. Setelah minum banyak Ghani menggerutu lagi ingin buang air kecil.

"Ma, ayo Ma pipis lagi ke tempat tadi!" seru Ghani lompat-lompat tak sabar.

"Pipis mulu," cetus Karel saat Ghani merengek memegangi celananya. "Ntuh di pohon aja dah, Mama nggak bisa nemenin ke dalam toilet. Mas males."

CompromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang