Ada kalanya seseorang harus merelakan meski keadaan tidak sejalan dengan keinginan. Ada kalanya seseorang harus menerima tanpa berharap akan balasan. Namun, ruh tidak akan pernah bisa membantah ketika ia ditaruh pada tubuh yang nantinya akan terlahir ke dunia sebagai makhluk yang memiliki hasrat dan hawa napsu yang tinggi.Napas pendek seolah tak lagi berarti apa-apa ketika tawa lepas yang pernah terlihat, kini menghilang bersama pejam mata yang begitu rapat. Di balik pintu besar ada sosok yang sedang berjuang untuk mengembalikan kesadarannya yang perlahan mulai melemah.
"Ardan gimana Pit?"
"Dia di dalam, lagi di tangani sama dokter. Rion gimana? Dia baik-baik aja, kan?"
"Udah kok, besok dia udah boleh pulang, sekarang gue mau ke kamar rawatnya ada titipan dari Kak Sabit."
Pitter tertegun mendengar penuturan Nakula. Padahal, belakangan cowok itu sedang banyak pekerjaan. Tapi Nakula masih mau menyempatkan waktu untuk urusan yang mungkin semua orang akan menganggap itu tidak penting. Namun, Nakula selalu mengatakan kalau dirinya tak akan pernah pergi dari sisi Ardan bagaimanapun keadaannya. Sejak mengetahui semua kebenaran yang sempat menjadi rahasia, Nakula benar-benar tidak lagi berpikir sedikit pun untuk meninggalkan Ardan. Katanya, saudara itu bukan hanya seseorang yang memiliki hubungan darah saja.
Semua yang Nakula lakukan bukan karena ia kasihan, tapi rasa sayangnya sudah melekat bahkan melihat Ardan terluka saja Nakula tak sanggup. Sama halnya dengan Pitter, yang selalu ada di sisi Ardan setiap kali anak itu berduka.
"Ya udah, gue ke kamar Rion dulu, dari tadi temennya telepon gue terus, harus buru-buru, nanti kabarin gue, ya?"
Setelahnya Nakula pun pergi, saat Potter memberi anggukkan kecil yang selalu menjadi jawaban ketika ia malas untuk bersuara.
Cukup lama, hingga salah seorang suster keluar dari ruang IGD.
"Adik saya gimana?" tanya Pitter saat suster itu baru akan melangkah. Namun, suster itu tampak diam, lalu menoleh ke arah belakang di mana dokter yang baru saja keluar itu menampakkan wajah keraguan.
"Adik saya gimana? Dia baik-baik aja, kan?" tanyanya sekali lagi.
"Kamu jangan khawatir, tenanglah sebentar, mari kita bicara sebentar di ruangan saya?"
"Tapi Algis baik-baik aja, kan? Dia nggak ada keluhan apa-apa, kan?"
Bagaimana bisa tenang, sementara dokter yang saat ini berdiri di hadapannya justru tidak menjawab apapun.
"Dok, jawab. Algis kenapa?"
Sedari tadi dokter yang kini melangkah bersamanya belum mengatakan apa-apa, bahkan dokter itu tampak tenang sementara Pitter sudah takut setengah mati.
"Duduk dulu, saya akan jelaskan," ucap Ricki. Salah satu dokter spesialis umum yang kebetulan adalah teman Panji ketika mereka masih SMA. Tak banyak yang mengetahui kalau sebenarnya dunia ini sempit. Bahkan Richi saja hampir tidak mengenali siapa Ardan, karena anak itu hampir tidak berubah sedikit pun.
"Saya nanya, Algis gimana, malah disuruh duduk," protes Pitter justru membuat Ricki tertawa.
"Iya, saya tahu, makanya duduk dulu, saya jelaskan kalau kamu sedikit lebih tenang semuanya pasti baik-baik aja. Dia adik kamu?" Suara lembut Ricki membuat Pitter terdiam. Lelaki itu terlihat jauh lebih tenang padahal tahu kalau Pitter sangat khawatir.
Pitter tidak pernah menolak untuk mengikuti apa yang diperintahkan, meski dirinya saat ini sangat kesal dan jengkel dengan sikap Ricki yang tampak biasa saja.
"Dokter ini mau jelasin atau mau introgasi? Saya Juppiter, kayaknya kita pernah ketemu, tapi di mana?" Ricki mengangguk, membenarkan perkataan Pitter. Ia pun sedikit mencondongkan tubuhnya dengan kedua tangan yang diletakan ya di atas meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANCHOR ✅
Jugendliteratur(Revisi) Faye Orion Ardanu. Si Bungsu dengan segala hal yang menarik perhatian orang banyak. Faye hanya perlu berkata tapi sulit untuk melakukannya. Dia hanya perlu merasakan tanpa peduli akibatnya. Besar bersama dua orang Kakak yang luar biasa, set...