Sejak dua jam lalu mereka telah sampai di daerah Pure. Tempat yang sering dikunjungi oleh pemuda-pemudi Bogor yang tinggal di daerah Dramaga dan sekitarnya. Tempatnya ramai, bahkan dari Daerah Ampera jalanan sempat macet sebab sebuah konser di gelar di sana.
"Lo kenapa jarang keliatan?"
Kopi yang mereka pesan hampir habis, obrolan random yang mengantar mereka tepat pada jam sebelas malam tiba-tiba saja terganti setelah Jeno mempertanyakan kenapa akhir-akhir ini Nana jarang berkumpul dengan yang lainya.
"Lagi nggak mood aja."
Lalu mereka terdiam untuk sesaat.
"Na, lo masih inget obrolan lo sama Reza waktu itu?"
Nana menaikan satu alisnya. "Obrolan yang mana?"
"Waktu Reza diem-diem teleponan sama gue."
Mata Nana kini beralih menatap jauh lampu-lampu kota di bawah sana. Dia jadi merasa tidak enak. "Sori. Yang itu nggak usah dipikirin, gue sama Reza cuma iseng. Lagian lo juga nggak seperti yang gue omongin kan?"
"Kalau kenyataanya bener, gimana?"
"Ya yang kata gue bilang, nggak bakal gimana-gimana."
"Lo nggak bakal ngehindar atau merasa geli temenan sama gue?"
Nana terkekeh di sampingnya. "Lo pikir toleransi gue soal orang-orang yang punya orientasi menyimpang sesempit itu? Nggak lah."
"Sekarang kalau lo udah tahu gue gay dan suka sama lo, gimana?"
Nana terdiam, suara petikan gitar dari sekumpulan pemuda terdengar syahdu mengalunkan lagu romantis di suatu malam yang terlalu apatis untuknya. Semilir angin dengan udara yang semakin dingin membuat ia mengeratkan hoodie Jeno yang di pakainya.
Nana baru sadar dengan outfit Jeno yang hanya menggunakan kaos oblong distro, sejenak ia berpikir apa Jeno masih kegerahan?
"Lo tau kan gue ke Caramel gimana?" akhirnya Nana bersuara kembali.
"Iya. Gue tau lo masih belum bisa lepas dari Caramel." Jeno tersenyum rumpang.
"Kalau lo mau, gue bisa kok mencoba buat membalas perasaan lo, tapi kalau suatu saat Caramel kembali, nggak kecil kemungkinan buat gue ninggalin lo." Nana pikir di negara ini ia tidak bisa bersama selamanya dengan Jeno. Ia hanya tidak ingin membuat harapan pada lelaki itu.
Jeno merasa tidak apa-apa jika memang suatu saat Nana akan memilih Caramel dibanding dirinya, asalkan Nana bahagia dengan pilihannya, itu tak masalah. Satu yang Jeno khawatirkan, ia hanya takut perasaannya ini membebankan Nana.
"Kalau gitu jadi pacar gue, Na. Jadi pacar gue sampai Caramel kembali sama lo, lo mau kan?" kata Jeno pelan, bertepatan dengan suara kembang api yang menggelegar di atas sana.
Nana terhenyak, tidak mampu berkata-kata ketika dengan begitu saja Jeno mengambil kedua tangannya.
"Izinkan gue buat memiliki lo meski cuma sekali, meski cuma sebentar, meski cuma gue yang mencintai. Gue nggak apa-apa Na, asalkan lo bisa nerima gue."
Nana menelan ludahnya, tetiba saja tenggorokannya terasa kering. Jadi begini ya di tembak sama cowok? Rasanya dag dig dug, tapi kenapa terasa begitu menyenangkan.
Nana menarik tangannya yang di genggam Jeno, lalu menusuk roti bakar yang lama didiamkan tak tersentuh, kemudian memasukan ke dalam mulutnya agar ia tak terlihat gugup.
Jeno terkekeh melihat Nana yang terlalu terburu-buru memakan roti bakarnya.
"Nyantai, roti bakarnya nggak bakal lari."
KAMU SEDANG MEMBACA
Backstreet| END
Fanfikce⚠️Mengandung unsur LGBT⚠️ Narama Jeandra ia lelaki normal yang memiliki kekasih bernama Caramelia, namun kekasihnya itu menghilang begitu saja bagai ditelan bumi, hubungan mereka pun akhirnya tidak pasti, hingga Narama dipertemukan kembali dengan Je...