Bismillahirrahmanirrahim.
Selamat membaca :)
...“Jika kita punya anak, tentunya kita juga harus mulai memikirkan untuk tinggal di rumah sendiri, kan?” Shafa mendongak menyelami mata Arashya. Berbaring berdua di atas peraduan saat hujan melanda terasa sangat nyaman. Dan perbincangan yang dibuka oleh Shafa, seketika membuat Arashya termenung.
Selama ini, ia fokus membuka hati. Arashya tak sampai sejauh itu berpikir akan punya rumah sendiri untuk dihuni oleh istri dan anaknya nanti.
“Mas, Shafa bisa meminta modal kepada Ayah.”
Arashya menggeleng tak setuju. “Jangan, ini tanggung jawab, Mas, Dik. Tidak ada sangkut-pautnya dengan orang tua.”
“Em ... selama ini, apakah uang hasil kerja Mas ditabung?”
Sungguh! Uang yang diterimanya merupakan sebagian dari hasil mengajar sang suami. Shafa berpikir, bahwa sebagian ditabung oleh lelaki itu. Namun ....
“Mas memberikan sebagian kepada Ibu. Kamu tidak keberatan, kan?”
Shafa mengulas senyum. “Itu bagus, Mas. Karena surgamu pun masih di bawah telapak kakinya.”
“Terima kasih sudah mengerti.”
“Sudah tiga bulan pernikahan, mengapa Allah belum percaya ke Shafa, ya, Mas?” Gadis yang terbaring nyaman di dada suaminya itu mengelus perut. Doa-doa selalu ia panjatkan agar di dalamnya segera terisi.
Shafa telah mengaku sembuh total dari typus ringan yang pernah menyerang setelah meminum olahan herbal cacing tiga hari berturut-turut. Tidak pernah lagi ia merasakan sesak napas dan sakit perut.
“Sabar. Mungkin sebentar lagi.”
Kata para ibu di luar sana, melahirkan adalah ajang bertaruh nyawa paling menyenangkan. Saat tangisan bayi terdengar, sakitnya hilang sejenak berganti dengan rasa bahagia hingga air mata berdesakan keluar.
“Shafa ingin merasakannya, Ya, Allah.”
***
“Mas kasih gaji bulan ini ke Ibu.”
“Tidak ada sebagian untukku?” Shafa mengulurkan tangan. Arashya menggeleng. Gajinya sebagai pengajar TPQ tidak terlalu besar, dan itu ditunggu satu bulan lamanya. Meski tinggal dengan keluarga, Shafa tetap menabung dari nafkah yang diberikan suaminya.
“Shafa tidak pernah melarang Mas memberikan uang ke ibu. Tapi, Shafa juga istri, Mas. Sudah sepatutnya bila ....” Ucapan gadis itu terpenggal. Sesak di dada membuat ia kesulitan berbicara.
“Dik, Mas adalah satu-satunya orang yang ibu punya. Sekali-kali, Mas juga ingin memberikan uang untuk ibu belanjakan apa yang beliau inginkan. Sejak dulu Mas selalu merepotkan ibu, dan saat besar, tanggung jawabku bahkan langsung pindah ke istri.”
“Semakin hari, Mas semakin berani menunjukkan kalau Mas tidak mencintai Shafa,” ujar gadis itu sesenggukan.
“Bukan begitu, harusnya kamu tahu kalau—“
“Biasanya Mas akan memberikan sebagian! Itu adil.”
“Dik ... astagfirullah.” Arashya menjambak rambut kuat-kuat. Tangannya ia ayunkan di atas kepala Shafa. “Mas memaklumi kecemburuan kamu. Sekarang, Mas ke rumah ibu. Mas akan pulang—“
“Mas selalu menghindar dengan pergi ke rumah ibu, tidak mau menyelesaikan masalah! Jika terus begitu, tidak usah kembali sekalian!”
Arashya yang semula memaklumi itu jadi ikut tersulut emosi.
KAMU SEDANG MEMBACA
LAIBA ARASHYA (Selesai)
Romance"Tidak semua yang pertama menjadi pasangan surga. Karena sebagian di antaranya, yang kedua menjadi terakhir." *** Menjadi orang dekat dalam hidup Mahreen Shafana Almahyra-putri ustaz yang penyakitan. Arashya terpaksa menikahinya setelah Laiba mengan...