Bukan kehendaknya menjadi pemilik sebuah kisah duka. Seperti senja yang tak pernah berkehendak untuk tenggelam, dan siang yang tak pernah berkehendak untuk malam.
Semuanya hanya berjalan sesuai rotasinya. Mengikuti garis tadir yang ada, garis takdir yang katanya adil.
Seperti jingga yang lekat dengan senja, Jingga juga tak pernah menyangka akan menjadi kisah bersama Senja.
Seperti sudah dituliskan di halaman takdir mereka merdua untuk bertemu dengan cara yang tidak terduga. Seperti sudah berjalan sesuai rotasinya hingga asing sejak awal tak pernah menjadi musuh bagi mereka.
Sudah lima bulan berlalu sejak Senja menemukan Jingganya, dan sudah empat bulan berlalu sejak Senja mengenal nama Jingga.
"Jadikan aku temanmu, sukai aku, maka aku akan membuatmu tak lagi membenci senja"
Kata itu masih melekat pada rungu Jingga, saat Senja dengan percaya dirinya menawarkan diri.
"Jadikan aku temanmu, sukai aku, maka aku akan membuatmu tak lagi membenci senja"
Sekali lagi, suara itu menggema di benaknya.
Jika, antara arunika dan swastaita hinga siang dan malam adalah ketentuan semesta, maka tidak dengan pilihan yang akhirnya Jingga lontarkan dengan seksama.
Seperti empat bulan yang lalu, saat Senja mengungkapkan kebenaran tentang dirinya atas hari lima bulan yang lalu.
***
"Kamu seolah menghakimiku tapi kamu sendiri ingin melakukan itu?"
"Aku bukan hanya mengatakannya padamu, tapi juga mengatakannya pada diriku sendiri. Aku tau, itu pertama bagimu, tapi bagiku, itu yang kesekian kalinya"
Jingga terdiam beku, gadis berwujud setengah bidadari ini mendadak kelabu, seperti kehilangan warna jingganya yang sejak tadi menyombongkan kilauannya.
Senja seperti kehilangan keindahannya, kalah oleh petir dari awan hitam di maniknya.
"Kenapa? Kenapa pada akhirnya kamu selalu bertahan?"
Senja terdiam sejenak, tak mengalihkan sedetik saja atensinya pada hamparan laut yang dipiasi cahaya purnama dari atas sana,
"Karena garis takdir tak pernah setuju untuk dipaksa ku akhiri,"
"hingga akhirnya aku seperti, 'oh, ternyata ini yang kau tulis di lembaran takdirku?' untuk menemukanku padamu,"
"Melihatmu menyerah, membuatku mendadak jadi ingin orang yang berharga,"
"dan sejak itu pula, kuputuskan untuk menjadikanmu sebagai alasanku, bertahan selamanya sampai ujung garis takdirku."
Jingga terpaku, tertegun di posisinya, pelukan lututnya melonggar sempurna, sampai akhirnya sepoian angin malam menyadarkannya bahwa ia masih di dimensi yang sama, namun, rasanya hanya ada mereka berdua. Padahal, sebenarnya ada beberapa orang lain selain mereka yang masih bertahan pada kegiatannya.
"Baiklah." jawab Jingga akhirnya, dibalas tolehan dari Senja yang mulai mengalihkan atensinya dari depan sana, mengerenyitkan dahi dengan alis yang tertaut.
"Apa?"
"Buat aku berhenti membencimu"
Senja terdiam, mendengar jawaban yang cukup membingungkan, atas jawaban yang bertolak belakang dengan beberapa menit yang lalu.
"Sekarang, ayo pulang, di mana rumahmu?"
Senja masih bergeming di tempat, walau Jingga sudah tegak sembari mengucapkan peetanyaannya lagi.
Ia mengulurkan tangan usai berdiri, membuat Senja menatap uluran itu, tangan laki-laki itu ternyata cukup normal untuk ukuran pria ideal, tak terlalu kekar, tak juga terlalu cantik dan mulus. Urat-urat kecil ditampakkan dari telapak itu.
Senja membalas uluran sang Jingga, hingga membuat langit yang sudah menggelap itu terasa kembali terkena cahaya Jingga.
"Ayo!"
Jingga berjalan mendahului Senja, tapi Senja diam seperti orang kebingungan. Wajah tenangnya mendatar sempurna, lalu menjawab santai, sebab otaknya sudah kembali mengingat ucapannya
"Sudah kubilang, rumahku di sini"
***
Sosok Senja yang sejak tadi menjadi tanya 'Di mana?' akhirnya muncul juga. Membuat sang Jingga yang sudah menunggu cukup lama menghelah napas legah.
Saat di sebrang jalan sana, sudah ada gadisnya yang memakai kado ulang tahun pertama bersamanya.
Gaun berwarna Jingga yang rasanya bersinar cantik di tubuh Senja. Sedang, Senja rasanya juga berbunga, saat Jingga yang terbalut kemeja putih di seberang sana tak kalah indah dengan langit merah muda di belakangnya.
Padahal tadi sebelum berpisah mereka baru saja bertemu, karena Jingga yang memutuskan untuk menjadi 'rumah' bagi Senja. Tempat ia pulang, tempat ia tidur dengan nyaman.
Sebab, selama ini, hampir separuh hidup Senja, ia habiskan di bawah hamparan nabastala, serta berselimutkan dingin, dengan lantai sembarangan.
Jingga mulai bersiap berjalan di atas aspal yang menjadi pembatas mereka berdua. Jalanan sore ini sepi, karena memang tempat milik mereka itu sudah seperti sempurna memang punya mereka.
"Jangan! Biar aku yang ke sana!" Senja memerintah, meninggikan suaranya agar terdengar jelas di rungu lawan bicara, membuat Jingga menggeleng, dan tetap melanjutkan langkah pertamanya.
Jingga menggeleng. Namun, ancaman dari Senja membuatnya kembali menarik langkah yang sudah siap menyentuh jalan pembatas mereka itu,
"Biar aku! Kalau kamu yang kemari, aku pulang saja!"
Jingga menarik sudut bibirnya menahan tawa, walau ia pulang juga Jingga tetap akan menemukannya, kemana pun ia, Jingga akan menemukannya, seperti Senja yang menemukan Jingga, seperti waktu itu.
Jika saat itu, Jingga katakan kalau Senja tidak menyelamatkan hidupnya, maka sekarang ia berterimakasih pada Senja.
Senja membuatnya hidup kembali.
Senja membuatnya menemukan makna dari rumah itu kembali.
Senja membuatnya kembali merasa dipercayai.Senja membuatnya berhenti membenci Jingga.
Senja membuat ia mempercayai kembali, kata bahagia yang selama ini hilang darinya.
Dan, Senja.... Me----
Ciittt! Duar!
....mengkhianatinya.
***
Semua kata yang bermakna bahagia, tetaplah berakhir sebagai rasa kecewa.
Seperti, langit merah muda yang katanya indah, nyatanya,
Langit merah muda penuh duka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Merah Muda Penuh Duka
Romantizmbaswara merah dan jingga di ufuk bhumantara terlalu indah untuk melambangkan duka. namun, kenyataan terlalu kejam untuk mengizinkan kita bersuka.