13 - Honesty and Egoism

234 22 5
                                    

Selamat membaca.
Jangan lupa tekan bintangnya. 🌟

.

Sudah beberapa hari, sejak pertemuan ganjil antara kami-gue, Rinaldy, Raka-di SPBU itu. Beberapa hari itu juga, waktu yang cukup lama bagi gue mengumpulkan niat untuk meluruskan kekeliruan yang mungkin mengganggu pikiran Raka soal gue dan Rinaldy. Beberapa hari itu juga, waktu yang cukup lama bagi gue untuk benar-benar sadar jika menyembunyikan hal itu juga enggak menjamin hubungan kami baik-baik saja setelahnya, seterusnya.

Sekarang, kemunculan si Anak Bajang yang ternyata teman dari temannya teman kosan Raka, justru makin bikin runyam. Padahal susah payah gue menyusun niat, memungut puing-puing keberanian, mengusir kepecundangan untuk mengambil risiko kandasnya hubungan biar gue saja yang menjelaskannya secara langsung.

Raka, dia berhak mendapatkan kejujuran-sesuatu yang sampai saat ini masih maju mundur gue berikan.

Dia cukup cerdas. Gue tahu dia enggak akan semudah itu untuk percaya jika Rinaldy sekadar sepupu jauh seperti yang gue katakan. Gue tahu, di balik sikap manisnya yang seperti biasa, panggilan sayangnya yang seperti biasa, dan lain-lainnya yang seperti biasa, ada gulungan rasa cemburu, rasa penasaran, dan-mungkin juga-rasa kesal yang berusaha dia tekan.

Di atas ranjang tanpa kolong di kamar Raka ini, gue menoleh ke kanan. Tepatnya ke punggung lebar lelaki yang tampak menawan dalam balutan kaus hitam itu duduk bersila di depan meja panjang berkaki pendek dengan laptop menyala. Sepertinya sedang melengkapi bahan untuk rapat dengan anak-anak BIMA setengah jam lagi nanti.

"Babe, aku mau bilang sesuatu. Penting."

Jari-jari Raka berhenti mengetik, lalu berbalik badan menatap gue dengan sorot yang serius. Aura dari jiwanya yang biasa hangat, mendadak berubah mendung. Marahnya dia karena seseorang mengatai pacarnya, belum hilang meski sudah melayangkan satu tinjuan pada si Anak Bajang. Ngomong-ngomong, gue belum tahu nama aslinya.

"Say it." Suaranya bernada dingin.

"A-aku ... " Gue mengambil jeda, menarik napas sejenak. "aku udah nikah."

Sejenak enggak ada respons darinya. Dia tetap bergeming dengan rahang yang perlahan mengetat, baru setelah beberapa detik kemudian satu alisnya terangkat. Dari gesturnya seperti sudah menduga jika topik ini akan tiba pada masanya. Namun, sepertinya dia enggak bisa menduga jika topik ini akan sebegini mengejutkannya.

"Maksudnya?"

Kepalanya sedikit meneleng, seolah dengan begitu dia bisa menyelami tatapan gue lebih dalam lagi.

"Aku," Gue menunduk, terlalu malu untuk menatap mata tajamnya. "sekarang dalam ikatan perkawinan sama orang."

Semoga kalimat gue yang barusan bisa mengganti tafsir negatif dari perkataan si Anak Bajang yang bilang, "Asal lo tahu, Bro, dia kemarin berdua di apartemen cowok selain lo. Pagi-pagi!"

"Dhis, aku ... aku-"

"Raka." Gue memotongnya, meski enggak tahu dia mau ngomong apa. Pandangannya kini beralih ke kanan, ke belakang daun pintu yang tertutup. "Kamu enggak salah dengar dan aku yakin kamu paham setiap kata dari kalimatnya."

Dari situ, gue mengurai cerita yang memuakkan, cerita yang menggelikan, cerita yang sebenarnya enggak ingin gue ceritakan. Tapi untuk Raka, sepahit apa pun itu, dia layak mendapat kejujuran.

Raka masih belum angkat suara setelah penjelasan gue sampai pada titik akhir. Miliran detik seperti membeku karena diamnya kami, seperti sengaja membiarkan kata-kata yang baru saja terlontar untuk lebih dulu mengendap dalam hati dan pikiran.

The Freaky WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang