2 - Past moments

100 10 4
                                    

10 tahun yang lalu~

(Namakamu) anak yang ceria. Setiap hari dia tidak pernah absen untuk bersenandung dengan mulut kecilnya. Rambutnya selalu dikuncir dua, memiliki rambut lebih panjang daripada kakaknya--Tsabina--menjadi kebanggaan tersendiri untuk (Namakamu). Saat itu, Tsabina tak pernah mengikat rambutnya. Rambutnya hanya sebatas bahu, dan selalu dibiarkan terurai. Mereka berdua sekolah di tempat yang sama. Hubungan adik-kakak yang begitu lekat membuat keduanya tidak pernah terpisahkan.

Sayangnya, kisah manis hanya ada di negeri dongeng. Bukan di dunia nyata. Hidup sederhana namun penuh kebahagiaan itu harus hancur ketika Ayahnya dikeluarkan dari perusahaan. Ayah memutuskan untuk membuka bisnis sendiri, namun Ibu menentangnya.

"Mas mau berhenti kerja? Mas boleh berhenti kerja tapi mas harus ceraikan aku!"

(Namakamu) dan Tsabina kecil yang tidak mau Ayah dan Ibunya bercerai lantas mengekori kepergian Ayahnya ke tempat kerja. Mereka ingin memastikan jika Ayah tak akan mengundurkan diri, maka dengan begitu keluarga kecil mereka akan tetap utuh.

"KAMU SAYA GAJI DARI UANG PERUSAHAAN! PERUSAHAAN SAYA!"

Penyesalan ... mengenai kedatangan mereka ke tempat kerja Ayah, mungkin tak lagi bisa ditolelir. Semuanya sudah terlanjur. (Namakamu) dan Tsabina terlanjur melihat semuanya.

Dari balik celah jendela, (Namakamu) dan Tsabina bisa melihat Ayah yang dipukul buku besar oleh Bosnya, bahkan Bosnya itu menendang perut Ayah berkali-kali. Namun Ayah sama sekali tidak melawan. Tak ada satu pun, dari banyaknya karyawan yang berdiri di sana, memiliki niat untuk menolong Ayah. Tidak ada. (Namakamu) menangis sambil memanggil nama Ayah, dan ... Tsabina menutup mulutnya. Menyuruhnya diam lewat gelengan kepala. Tsabina juga menangis, tapi dia lebih bisa menahan tangisnya ketimbang (Namakamu).

Hari itu, (Namakamu) dan Tsabina pulang ke rumah dan menceritakan semua kejadian yang mereka lihat pada Ibu.

Ibu tidak mengasihani ayah. Ibu justru semakin marah.

"Kalian pikir kalau Ayah menganggur, kalian mau makan apa?!"

"(Namakamu), kamu mau nggak ikut wisata sekolah?"

"Tsabina! Kamu mau berhenti les?!"

"Kalau hidup kita di ambang kemelaratan, lebih baik Ibu cerai sama Ayah!"

Ucapan Ibu bagaikan kilatan petir yang tak pernah diharapkan (Namakamu) dan Tsabina. Ibu berbicara demikian bertepatan dengan kepulangan Ayah. Ayah dengan bahu putus asa membiarkan ayam goreng yang dibelinya di jalan, jatuh begitu saja. Ayah menitikkan air mata. Lalu, meminta maaf pada Ibu. "Ayo kita bercerai."

"Ya, lebih baik kita cerai Mas." Ibu menatap dua anak perempuannya. "Tsabina, (Namakamu), kalian mau ikut siapa? Ibu? Atau Ayah?!"

(Namakamu) dan Tsabina saling bertukar pandang.

***************

"Apakah Anda menyesali keputusan itu?" (Namakamu) mencengkeram mikrofon di tangannya dengan erat.

"Menyesal? Tentu pernah. Saya hanya manusia biasa." Tsabina kembali berbicara. "Terkadang saya penasaran, apa orang dengan pilihan yang berbeda dari saya ... hidup dengan baik dan tidak menyesal? Karena semua pilihan akan diikuti rasa penyesalan."

(Namakamu) tersenyum. "Tidak semuanya begitu. Terima kasih atas jawaban jujur Anda Tsabina Faras--mmh, bukan. Maksud saya, Tsabina Fabian."

"Anda akan bertemu dengan seseorang dari masa lalu Anda, di tempat yang tidak terduga."

Tiba-tiba saja telinga Yesaya memutar ulang ucapan Silla tadi pagi.

Yesaya belum memutus kontak matanya pada (Namakamu).

Start Up [IqNam Series]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang