Aku duduk di sofa empuk berwarna abu-abu muda. Menghirup aroma bunga yang semerbak di rumah ini dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan karena takut terdengar papa dan mama. Pasti mereka akan menatapku aneh.
"Kamu ngantuk?" tanya Papa. Aku menggeleng.
Papa kembali menyesap tehnya, dan mama sibuk berbincang dengan wanita sebaya yang duduk di seberang. Dia tidak berhenti tersenyum dan aku jadi tahu kenapa alasannya Aidan selalu tersenyum. Mereka mirip.
DNA ternyata, kukira Aidan gila.
Pintu depan terbuka pelan dan seseorang muncul dengan kaos hitam dan jeans serta rambut yang basah. Memang sih di luar hujan, apa dia tidak memakai payung?
"Halo tante, om, ma, pa," sapanya. Detik selanjutnya dia menatapku dan tersenyum lebih lebar lagi, "Halo Thalia," sapanya.
Aku diam tidak berkutik. Aku merinding, kenapa juga aku harus seperti ini.
Ingat kata orang tuaku soal Aidan mengajak kami makan malam bersama? Yah, itu kejadian sekarang. Mama bahkan menyuruhku untuk berdandan sedikit dan menggunakan baju yang tidak biasa kukenakan. Aku memakai dress bermotif bunga yang biasa dikenakan gadis-gadis goodlooking di internet. Apa aku jadi cantik?
Tidak juga, kurasa.
Apa aku terlihat aneh? Sial, Aidan terus menatapku dengan tatapan yang tidak bisa kumengerti. Dia menaiki tangga dan matanya masih sesekali melihat ke arahku. Aku berniat untuk tidak menatapnya juga, tapi sepertinya ada yang salah dengan penglihatanku karena seperti yang aku alami sekarang bola mata ini malah curi-curi pandang ke arah Aidan juga.
"Ah ya, Thalia. Kata Aidan kamu suka banget apel ya?" Aku mengangguk sembari tersenyum.
Aidan tahu dari mana?
"Nanti kamu ikut Aidan ya, dia mau ajak kamu ke suatu tempat. Pasti kamu suka,"
Aku menikmati sajian kue yang disiapkan tante Bunga-mama Aidan. Mama yang mengangguk antusias, sedangkan papa terlihat berpikir. Mungkin papa yang paling khawatir kalau sesuatu yang buruk akan terjadi pada ku kalau saja tidak diawasi. Aku tidak bicara, hanya menjawabnya dengan senyuman.
Tadi malam papa menanyai ku dengan banyak pertanyaan soal Aidan. Perihal darimana Aidan bisa kenal denganku, lalu bagaimana Aidan bisa berteman denganku, lalu bagaimana bisa tiba-tiba aku perlahan membiarkan Aidan tahu tentangku dan bisa jadi lama kelamaan bisa masuk ke dalam kehidupanku yang datar ini.
Aku menggeleng ketika tiba-tiba merasa pusing. Yah, mungkin terlalu lama duduk. Bosan juga mendengar para ibu-ibu dan bapak-bapak ini berbincang.
"Permisi tante, toilet ada di sebelah mana ya?" tanyaku sembari bangkit.
"Oh? Di bawah tangga dekat dapur, mau tante antar?"
Aku menggeleng halus, "Gak apa tante aku sendiri aja," jawabku. Tante Bunga mengangguk.
Kalau boleh menilai, rumah ini sangatlah sejuk. Dirasakan dari langkah pertama saat aku melangkah di lantai rumah ini, lantainya bahkan dingin tapi aku tidak melihat ada AC menyala di ruang tamu. Di pekarangan depan rumahnya juga ramai dengan tanaman hijau dengan pot putih gading yang berjumlah lebih dari tanaman yang mama urus di rumah. Fakta mengejutkan lainnya adalah rumah Aidan ini berada di belakang rumahku.
Ini semua takdir ya? kukira mimpi.
Setelah selesai dengan urusanku di kamar mandi, aku hampir saja terpeleset karena melihat Aidan yang berdiri tepat di depan toilet. Rambutnya basah dan kaosnya sudah berbeda dengan yang tadi. Pasti habis mandi.
"Sini aja," katanya.
Aku menatapnya lama. Jujur aku bingung, maksudnya aku di suruh diam di kamar mandi?
Dia terkekeh geli, "Maksudnya duduk di situ tunggu aku," Aidan menunjuk kursi makan yang menghadap membelakangi kamar mandi. Aku mengangguk setuju.
Aidan kembali masuk ke kamar mandi. Apa yang dilakukannya ya, keliatannya baru selesai mandi yang artinya sebelumnya Aidan keluar dari kamar mandi dan aku pun tidak tahu alasan yang pasti kenapa Aidan ma --
Okay, Thalia. Berhenti peduli.
Suara pintu terbuka terdengar dan detik selanjutnya langkah kaki di belakangku terdengar. Aidan mendekat dan duduk di hadapanku.
"Apa?" tanyaku. Aku sedikit tidak nyaman karena tatapan Aidan.
"Kamu bagus pakai dress itu," ujarnya. Aidan tidak bisa diam. Setelah dia duduk dihadapanku menatapku, dia kembali bangkit mengambil dua gelas dan menuangkan air yang tidak berwarna ke dalam gelas itu.
"You look pretty. No, i mean you are pretty. But today, you look stunning,"
- - -
Tidak terasa sudah pukul 8 lewat. Keluargaku dan Keluarga Aidan kembali berbincang di ruang tengah sedangkan aku masih duduk di kursi makan, disusul Aidan yang duduk di sebelahku. Kalau diperhatikan, sepertinya papa mama cocok sekali berbincang dengan orang tua Aidan. Aku ingin pulang, tapi sepertinya tidak dalam 30 menit ke depan.
Ya ampun.
"Ikut aku yuk," Aidan dengan santainya mengandeng tanganku. Reflek, aku langsung mencoba melepasnya namun Aidan malah makin mengeratkan gengamannya. Sial, batas privasiku telah dilewatinya.
"Kenapa?" tanyanya. Aku mendadak gugup.
Kurasa Aidan sedikit kesal karena kelakuanku yang boleh aku akui agak kurang sopan. Masalahnya adalah aku tidak ingin siapapun datang ke dalam hidupku begitu saja walau makin lama aku semakin sadar kalau Aidan bukan orang jahat.
"Kenapa kamu seakan punya pembatas untuk orang-orang yang sebenernya nggak punya niat jahat sama sekali ke kamu?" Aku diam.
Aidan menatapku dengan.. entah. Pokoknya tatapannya mengarah seluruhnya kepadaku. Genggaman tangannya mengendur, lalu Aidan menatap kepada seseorang di belakangku. Papa. Aidan tersenyum ramah tanpa melepaskan genggamannya. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Papa sekarang. Dia mengerutkan alisnya sebentar lalu kembali pada ekspresi normal.
"Bentar lagi kita pulang ya," Ujarnya, lalu melangkah kembali ke ruang tengah.
Syukurlah.
Aidan kembali menatapku.
Sial, sial, sial. Aku gugup sekali ditatap seperti itu.
"Apa?" tanyaku lagi. Bodoh! kenapa malah bertanya, Thalia.
Aidan kembali tertawa pelan dan menepuk puncak kepalaku pelan.
"Kamu belum jawab pertanyaan aku, kenapa?" Aku tidak berani, masih belum. Aku mengangkat bahu tanda tak tahu.
"Okay, aku bakal cari tahu sendiri,"
"Aku cuma mau bilang, you deserve the world, Thalia. You are beautiful and stop concern about everything and start to love yourself, please...
Cuz' there is someone who love you from now and later."
Aku mau pura-pura tidak mengerti bahasa inggris.
KAMU SEDANG MEMBACA
When I Care Too Much
Teen FictionIngat-ingat ya. Jadi manusia itu jangan terlalu peduli kepada sesama. Tahu alasannya apa? Peduli itu = MENYUSAHKAN.