Disclaimer:
Cerita ini hanya fiktif belaka. Apabila ada kemiripan nama tokoh, tempat, dan lainnya terhadap kisah lain, itu semua murni ketidaksengajaan. Dan jika ada kesalahan penulisan, istilah, dan hal-hal lain, mohon untuk dikoreksi, ya.
Selamat membaca!
Salam Prajurit Baret Jingga.
***
Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya. Dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.
(Q s. Al-Anfal : 24)
**
Sudah tiga hari ini saya menjalankan latihan. Di hari pertama, yaitu menembak dan gelar senjata. Hari kedua, kami lintas medan jarak 10 kilometer dengan beban 10 kilogram di ransel yang kami bawa dan kemarin adalah halang rintang.
Saat lintas medan di hari kedua, saya merasa mendadak tidak enak badan. Mungkin karena saya dipaksa lari dengan beban 10 kilogram di pundak. Memang, menjadi tentara bukan untuk orang-orang yang ingin senang-senang, pamer pangkat dan jabatan, atau lainnya. Mereka enggak pernah tahu bahwa di balik layar, kami harus berjuang meski sudah lulus pendidikan sekalipun. Namun, ditempa sudah menjadi makanan sehari-hari.
Rayyan sempat menanyakan kondisi saya saat kami berlari berdampingan. Dia bilang, wajah saya pucat, tapi saya mengatakannya tidak apa-apa. Gengsi. Masa Kapten lemah? Akhirnya dia cuma menertawakan saya.
Saat kemarin agendanya halang rintang, kami benar-benar seperti turun di medan tempur. Dan, itu salah satu latihan yang paling saya sukai. Para personel harus melalui rintangan demi rintangan dengan nilai terbaik dengan memakai helm baja, serta ransel yang berisi kaporlap*.
Meski badan saya terasa remuk, saya tidak boleh dan tidak bisa menyerah begitu saja. Demi Radya, juga anak saya. Mereka adalah sumber semangat saya untuk bertahan pada Latihan Uji Siap Operasi.
Ngomong-ngomong, saya baru mengabari Radya satu kali. Itu pun pada hari pertama saat gelar senjata. Dia tidak tahu kalau kondisi saya kurang baik. Saya juga tidak mau membuatnya cemas.
Hari terkakhir sebelum balik ke markas Komando 461 Paskhas, kami melakukan Yonbuthanlan. Pekerjaan saya sehari-hari sebagai Komandan pertahanan pangkalan udara membuat saya harus serius latihan kali ini. Sedikit memaksakan diri memang di tengah kondisi, tetapi saya mesti menyelesaikan misi dengan baik.
Alhamdulillah. Allah Maha Baik. Saya diberikan kekuatan untuk bertahan empat hari ini dalam LUSO. Tenaga saya habis terkuras. Ingin rasanya cepat-cepat tidur di rumah.
"Mohon izin, Komandan enggak apa-apa?" Riza ikut duduk di selasar—di sebelah saya saat sedang memakai sepatu untuk persiapan apel sebelum kembali ke Batalyon.
Saya menepuk bahunya. "Enggak apa-apa."
Ketika berdiri, tubuh saya lunglai. Riza refleks menopang saya. "Terima kasih, Za."
"Siap, Komandan. Semangat, Ndan, habis ini bisa istirahat di rumah."
Saya hanya tersenyum karena tidak ada tenaga menanggapinya lebih. Kami berdua sama-sama bergabung ke barisan untuk apel.
Syukur beribu syukur, di tengah kondisi saya yang lemah, saya tidak ditunjuk menjadi pemimpin apel. Paling tidak, saya dapat mendengar pesan-pesan dari Komandan meski samar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Dari Langit [TERBIT]
General Fiction.. 13 Oktober 2021 .. Bismillah. ----- Dalam lingkup militer, ada beberapa peraturan yang mesti diikuti bagi setiap istri prajurit. Dan, setinggi apa pun gelar yang dimiliki sang istri, tetap mereka menyesuaikan pangkat suami. Enggak cuma itu, menja...