Chapter 9

1.3K 128 26
                                        

Pria itu menghembuskan nafas lega ketika menapakkan kaki di kota yang terkenal dengan macetnya itu. Rambutnya acak-acakan karena ia tidur di pesawat sepanjang perjalanan. Ia tak peduli, toh dirinya memakai masker sehingga kecil kemungkinan orang mengenalinya. Tapi seulas senyum tersungging di bibirnya. Ia sudah tak sabar bertemu keluarga kecilnya setelah seminggu ini berjauhan.

Alya sudah menceritakan kepada Ali tentang pertemuannya dengan Prilly. Alya yakin memang ada sesuatu yang membebani pikiran Prilly sehingga ia terlihat berbeda dengan Prilly yang biasanya. Meski begitu, Zefalya Dirgantara tak tau pasti apa yang menjadi penyebabnya. Istrinya tak pernah bertingkah se-aneh ini, apalagi hingga tidak bisa ditangani oleh Alya.

Ali pun masuk ke mobil taksi online yang sudah menunggunya. Ali sengaja tak memberitahu kepulangannya pada Theo dan juga Prilly. Biarkan menjadi sebuah kejutan, pikir Ali.

"Makasih, Pak." ucap Ali kepada sang sopir taksi yang membantunya memasukkan koper ke dalam bagasi. Lelaki itupun berangsur masuk dan duduk di dalam taksi tersebut.

***

"Papaaa!" Theo langsung berhampur minta dipeluk Ali ketika sosok Papanya itu membuka pintu rumah mereka. Tadinya Theo sedang bermain puzzle ditemani Prilly meski ia hanya melamun tanpa antusias sedikitpun.

Ali melirik semangkuk puding coklat dengan vla vanilla yang dibiarkan teronggok beberapa sentimeter dari tempat Prilly berada. Ali tau itu pasti puding milik Prilly, yang Ali bingungkan adalah kenapa istrinya itu seperti tak memakan puding itu sama sekali.

Sebenarnya Prilly pun kaget dengan kepulangan Ali yang tiba-tiba, atau mungkin Prilly yang tidak sadar bahwa ini sudah hari ke tujuh semenjak Ali pergi ke Kalimantan. Jangankan menghitung hari, Prilly bahkan tidak memperhatikan tanggal sama sekali. Belakangan ia juga lupa jadwal pasien yang harus ia kunjungi di bangsal-bangsal rumah sakit.

Ali pun langsung mengangkat Theo ke dalam pelukannya.

"Papaaa kangennn!"

"Theo udah bisa selesai in puzzle yang terakhir lho, Pah! yang paling sulit. " pamer Theo.

"Wow. Pinternya jagoan Papa." Ali mengusap-usap kepala anaknya.

Sementara menurunkan Theo dari gendongannya, Ali mendekati Prilly yang kini berdiri menatapnya.

"Nggak mau peluk Abang?" tawar Ali.

Prilly menatap suaminya. Ada kilat sedih bercampur haru di wajahnya yang pucat.

Tanpa menunggu lagi, Ali meraih Prilly ke pelukannya. Nyatanya, pertahanan Prilly juga sedikit goyah karena harum tubuh Ali seakan menyadarkan betapa Prilly merindukan lelaki di pelukannya ini. Ali bisa merasakan Prilly membalas pelukannya meski Prilly tak berkata apa-apa. Pelukan mereka hanya singkat dan meninggalkan berjuta pertanyaan di kepala Ali.

***

Malam itu Ali baru saja selesai mandi. Ia baru saja meregangkan tubuhnya yang terasa begitu lelah. Selalu saja seperti ini. Jika sedang bekerja atau ada proyek, Ali akan mengerahkan seluruh tenaga dan pikirannya kesana. Baru setelah semuanya selesai, tubuhnya remuk kelelahan.

Pandangannya mengedar ke seluruh sudut kamarnya. Ia tak melihat keberadaan Prilly. Ia pun memutuskan untuk keluar setelah menggantung handuk yang baru saja ia gunakan.

"Theo, Mama mana, Nak?" tanya Ali sambil menghampiri anak semata wayangnya yang sudah berada di kasur. Rupanya Theo sudah bersiap untuk tidur meski waktu masih menunjukkan pukul delapan malam.

Theo menaikkan kedua bahunya. "Nggak tau, Pah. Tadi Mama kesini terus cuma nyuruh Theo tidur."

"Theo udah makan?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 30, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Unrighteous 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang