Sadar

54 3 1
                                    

Kehidupan Revy sebagai Pemimpin Klan selanjutnya sudah ditentukan sejak awal. Di umurnya yang ke 6, bocah manis itu sudah mulai ditempa layaknya kepala keluarga Xieng. Anak perempuan itu tampak terlatih, dimulai dari sikap, cara bicara, cara dia menanggapi lawan bicara, kharisma, mengambil keputusan, bahkan saat berjalan pun... Dia sudah hampir bisa menjadi Pimpinan yang baik.

Tentu saja, Aria tak mau memaksakan anaknya untuk terlalu fokus dari pelajaran pewarisnya. Wanita yang merupakan ketua klan generasi saat ini memastikan anaknya tetap dapat bermain layaknya anak-anak seusianya. Mengabaikan perkataan kolot para tetua, wanita cantik itu yakin bahwa anaknya akan tumbuh menjadi ketua klan yang baik.

"Revy, kurasa kau sudah bisa berhenti. Ayo, keluar kelas, nikmati waktu santaimu." Sang ibu memanggilnya setelah mengetuk pintu kelas si sulung. Guru yang mengajari Revy tampak menunduk sopan, sebelum akhirnya pamit untuk pergi.

"Terimakasih atas kemurahan hati Ibunda," Revy kecil tampak menundukkan kepalanya sopan. Aria tampak tersenyum geli. Padahal dia baru saja berumur 6 tahun, tapi dia sudah sesopan dan sekaku itu. Aria jdi cemas pada masa depan anaknya nanti.

"Revy, belajarlah bersikap santai pada mama." protesnya sambil menggendong bocah itu. Revy tampak tersenyum tipis. Mamanya slalu saja menekankan bahwa dia bisa brsikap santai kepada keluarganya, dan bersikap penuh sopan santun kepada orang tertentu. Tapi Revy tau betul bahwa dia ditekan untuk menjadi pewaris yang sempurna... Dan dia berusaha untuk itu.

"Maafkan saya, Ibunda. Mungkin saya harus diajari agar terbiasa melakukannya," balasnya sambil mencium pipi Ibunya.

Aria menghela napas. "Ayo, Mama mau menunjukkan sesuatu padamu." gumamnya sambil membawa anaknya ke suatu ruangan.

Revy tampak mengedipkan matanya berulang kali. Otak cerdasnya segera memperhatikan sekeliling dengan seksama. Ruangan yang mereka kunjungi tampak asing di mata hetero itu. Dia bahkan tak tahu ada tempat seperti itu di rumahnya.

"Ibunda, ruangan apa ini?" tanyanya dengan wajah kebingungan.

Aria menatap anaknya lembut. "Revy, dengarkan Mama. Suatu hari rumah ini ada dalam masalah, yang harus kau lakukan adalah, bawa adik-adikmu kemari, dan ikuti saja peta yang ada di buku nomor 2, mengerti?" jelas ibunya sambil menatap anaknya dengan serius.

Revy masih belum memahami maksud ibunya hanya mampu mengangguk sekali. Dia paham penjelasan ibunya, tapi dia tidak dapat menangkap maksud ibunya berkata demikian.

"Saya mengerti, Ibunda." balasnya sambil tersenyum manis.

Aria tampak lega, dipeluknya erat anak sulungnya, diciumnya wajah manis itu berkali-kali. Revy makin tak mengerti dengan perlakuan ibunya. Seperti... Berat ingin melepaskannya?

"Ibunda?" panggilnya tak mengerti.

"Revy, Mama sayang kamu, Mama sayang Envy, Mama sayang sama Livi. Semoga kalian bahagia terus..." doanya dengan tulus pada telinga Revy, membuat anak itu makin tidak mengerti.

"Mama? Mama kenapa?"

"Gapapa sayang, Mama cuma mau mengatakannya saja.." balas ibunya dengan riang.

Karena ibunya memang seunik itu, Revy memilih untuk tidak terlalu memikirkannya sama sekali.

Tanpa dia sadari, itu adalah momen terakhirnya bersama Sang Ibu, sebelum akhirnya tragedi dimulai.

______________________________________________

Suara gemuruh ledakan terdengar sampai ke kamar Revy. Bocah itu segera meloncat ke jendela saking terkejutnya, dan matanya terbelalak saat melihat desa mereka telat terbakar. Beberapa orang aneh mulai menangkap,memukuli, bahkan meyiksa orang desanya.

Bingung? Tentu saja dia kebingungan. Tapi dia tidak bisa banyak bertanya-tanya untuk saat ini.

Lagipula, dia harus mencari kedua adiknya sebelum orang tuanya.

Langkah kaki kecil Revy bergerak cepat ke kamar sebelah, dan menemukan Envy yang tengah mencoba menenangkan Liviya yang terus menerus menangis karna takut.

"Envy..."

"Kakak, apa yang sedang terjadi? Kenapa diluar sana sangat ribut?" tanyanya dengan wajah yang cemas sambil tetap memeluk Liviya yang menangis.

"Sebaiknya kita meninggalkan tempat ini. Ayo, kita cari dahulu Ibunda dan Ayahanda." ajaknya sambil mengusap pipi Liviya yang basah karena air mata.

"Hiks... Kakak, ada apa ini? Mengapa diluar banyak jeritan?" tanyanya dengan nada yang tersendat-sendat.

Revy mengusap pipi Liviya lembut, menciumnya sekilas. "Nanti kakak jawab, ya? Sekarang, ayo kita cari Ibunda dan Ayahanda," ajaknya sambil menggandeng kedua adiknya.

Setelah menjadi sedikit tenang, ketiganya segera berlari ke arah rumah depan, dan menemukan wajah ibunya terlihat tegang dan tetap berusaha untuk membuat pasukan untuk melawan musuh yang menyerang.

"Ibunda...?"

"Revy, cepat ke tempat yang mama katakan tadi, paham?!" perintahnya sambil terus mencoba melawan beberapa musuh di sekitarnya.

"Ma-mama..." Liviya dan Envy bahkan tak sanggup berkata apa-apa. Revy terdiam sejenak, lalu mulai menarik kedua adiknya menjauh dari bagian depan rumah.

Dia tak menyangka hari dimana mereka harus menggunakan ruangan yang dimaksud Ibunya secepat ini. Dengan gesit, mereka segera memasuki ruangan yang ibunya perlihatkan, lalu membawa masuk adik-adiknya ke sana, tak pula menutup tempat itu kembali.

Liviya dan Envy hanya bisa diam mengekori sang Kakak, karena mereka sadar saat ini hanyalah beban bagi Revy.

Revy mengeraskan rahangnya. Mengabaikan rasa nyeri karena sadar mereka akan menjadi anak tanpa rumah dan tanpa orang tua. Setidaknya... Mereka harus tetap hidup.

[Tugas Kelas-Update Jumat, 5 November 2021- 772 words]

just Random BookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang