01 : dissapointment

456 29 3
                                    

Difikir-fikir kembali, mungkin ini bukan jalan yang benar dan pernah kubayangkan. Melihat orang-orang yang sibuk dengan dunia setelah sekolah membuatku merasa jauh tertinggal. Walaupun belum sampai pada tujuan, mereka sudah mampu meraba jalan menuju kesana. Sedangkan aku?

Bayangan mengenai hal-hal yang mungkin akan didapatkan dengan mulus karena kemampuanku ternyata adalah bentuk kesombongan. Hasilnya kosong seperti aku sekarang. Rasa angkuh itu membuatku malah jatuh lebih dalam dan sakit atau malah lebih parahnya— menghancurkanku juga.

"Gue ingat banget, lo nolak buat daftar karena ego sendiri."

Tetangga kompleks yang merangkap menjadi teman lamaku kembali mengungkit segala hal yang menurutnya dosa karena melewatkan sesuatu. Hari ini adalah jadwal terakhir uts mereka sehingga waktu senggang itu dipakai untuk menemuiku— sekedar melihat keadaanku karena dua minggu tanpa kabar bahkan tidak membuka group chat.

"Hyuk, gue bingung."

"Memangnya kebingungan waktu itu bakal buat lo lega? Enggak kan? Kalo lo ikut bareng kita walaupun ga sepenuh hati, ga bakal ada rasa bosan atau sendirian. Sekarang liat? Emang enak nganggur?"

"Gue sebulan empat kali masuk kelas musik kok nambah dua kali lipat."

"Cih, Heeseung makanya—"

"Udah deh, Heeseung juga udah besar. Biarin aja dia tanggungjawab sama keputusannya. Lo udah kaya ngelangkahin nyokap-bokapnya buat ngurus dia." cegah Sungchan kali ini sebelum Jaehyuk memulai lagi ucapan berulang-ulang yang berakhir menyudutkanku. "Belum tentu yang lo ucapin benar, mending dukung keputusan Heeseung apapun itu kalau ke arah positif."

Jika situasi ini ada di kartun yang biasanya kutonton mungkin mataku mengeluarkan sinar karena merasa di bela oleh Sungchan. Lelaki ini tidak ikut menyalahkan keputusanku yang agak salah langkah atau ikut mengejek. Pendapatnya selalu sama— aku jadi merasa sedikit bersalah karena pernah tidak mendukung keputusannya dalam suatu masalah.

"Gue begini karena perduli, kalo kaga ya ngapain kesini."

Ayo terlibat dalam kehidupan amfibiku. Disebut begitu karena berada antara dua sisi, antara tenang karena sekarang tanpa masalah di depan mata dan masa depan yang mengejar karena belum tertata.

Namaku Heeseung Lee, baru saja lulus sma tahun ini. Anak bungsu dari dua bersaudara dan apalagi? Aku krisis identitas karena sekarang labelku adalah tidak bekerja dan tidak bersekolah. Terima kasih kepada Jaehyuk yang selalu mengingatkan siapa aku saat ini, katanya agar tahu diri.

Aku orang yang ambisius sebenarnya, semua kurencanakan lebih awal dan harus selalu berada di jalur. Bahkan sebelum semester akhir sekolah tiba, aku sudah mempersiapkan diri untuk menuju sekolah impianku. Diterima masuk, empat tahun pendidikan, lulus dengan nilai baik dan berkarir di bidang musik klasik sudah kuangan-angankan tapi ternyata semuanya salah. Aku gagal masuk ke sekolah prestigius terbaik pilihanku.

Pada saat itu aku terlalu percaya diri dengan kemampuan yang dipuji oleh semua orang— guru musik, keluarga, teman-teman mengenai bakatku yang begitu besar di bidang itu. Aku mampu mengenali pitch dengan sempurna, menyanyikan not tinggi dan rendah dengan baik, memainkan beberapa alat musik dan menciptakan lagu— semuanya merasa aku adalah jenius dan lama-kelamaan, ucapan-ucapan itu membuatku juga meninggi. Disaat semua orang memiliki rencana cadangan saat memilih universitas, aku mengabaikannya karena yakin akan diterima tanpa ragu. Ternyata aku salah.

Aku tidak berhasil diterima di Juilliard.

Sebenarnya masih banyak jejeran sekolah musik bagus lainnya tetapi bukan tanpa alasan kenapa netraku hanya tertuju pada sekolah musik terbaik di dunia itu. Dari semua keturunan keluarga, hanya aku yang memiliki bakat musik dari nenek— dia dahulunya adalah pemain piano untuk teater klasik paling terkenal di negara. Ketika tahu kemampuanku, dia memperkenalkan musik klasik secara menyeluruh — Juilliard yang merupakan tempatnya menimba ilmu adalah salah satu yang paling sering dia singgung. Hingga cita-cita itu tercipta. Rasa malu berlipat ganda saat gagal karena bukan hanya mengecewakan diri sendiri tapi juga nenek— dia selalu berfikir aku adalah penerusnya.

Ketika tahu, orang tua dan kakakku tetap memberi semangat. Mereka menyarankan untuk melanjutkan pendidikan di sini atau tempat lain. Tapi sulit sekali menerima kegagalan itu hingga rasa membuka lembar baru di tempat lain tidak bisa terbayang olehku. Kuacuhkan perkataan mereka dan memilih mencoba hingga berhasil.

Tapi ternyata perkataan Jaehyuk tadi benar, aku memang merasa bosan dan sendirian. Rasanya seperti melihat teman-temanku sudah terbang di atas pesawat, sedangkan aku masih terdiam di dalam bandara tanpa tiket karena tak tahu tujuan.

.

her waves | heeseung ; ningningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang