Sincerely, Tulip Minerva

38 7 1
                                    





• • • ✦ • • •

Suara penyiar stasiun kereta api terdengar ke seluruh penjuru koridor. Ia memecahkan lamunan dan obrolan massa untuk tetap kembali fokus. Kumpulan manusia itu pun langsung memencar mengikuti arahan. Mereka bergerak bak robot yang baru diisi baterai, gesit sekali. Para penumpang mulai menaiki kereta api tujuan mereka. Termasuk juga aku, berjalan menuju ke depan gerbong bagianku. Tak ada hal berarti yang aku bawa. Hanya tas hitam kecil serta bunga tulip putih yang sudah dibungkus rapi. Selebihnya, aku membawa tubuhku yang mulai berusia 20 tahun.

Entah rasa lelah atau kantuk yang menerpaku sampai-sampai tidak fokus dan menabrak seorang wanita paruh baya hingga barang bawaannya terjatuh.

"Ah, maaf!" Aku segera membantunya merapikan barangnya yang jatuh.

"Tulip biru" Batinku.

"Aduh maaf, Bu. Maaf, saya tidak sengaja." Ucapku berulang kali.

"Tidak apa apa, Nak." Tuturnya ramah.

"Cantik-cantik bunganya, Buk."

"Ini? Bawalah yang kau suka." Ujarnya sembari menyodorkan satu bunga tulip yang dibawanya.

"Tidak usah, Bu. Terima kasih." Aku menolaknya, merasa tidak enak. Sudah menabraknya justru diberi bunga yang sangat cantik.

"Tidak usah sungkan, pilihlah." Aku tersenyum simpul kemudian mengambil beberapa tulip biru dari keranjangnya.

"Terima kasih, Bu."

"Bukan masalah, kau suka bunga?" Ucapannya memecah sekilas hening yang aku ciptakan, sebab terlalu fokus dengan bunga pemberiannya. Indah, sangat indah bunga berwarna biru langit ini. Serasi dengan tulip putih yang kubawa, bahkan dengan blus yang kukenakan.

"Hehe iya Bu." Jawabku sedikit canggung. Bunyi dari pengeras suara stasiun kembali terdengar, tanda keretaku akan segera berangkat.

"Mohon maaf, Bu. Saya harus segera pergi. Barangkali kita dapat berjumpa kembali, Terima kasih banyak!" Ucapku sedikit berseru, kemudian bergegas menuju gerbongku dengan berlari kecil. Ibu itu menatap punggungku yang semakin menjauh, dia tersenyum penuh arti.



٠ ٠ ٠  ✦



Pintu gerbong terbuka, kaki ini dengan segera melangkah masuk dan mencari kursi yang sudah kupesan. Di sinilah aku sekarang. Dalam kereta api yang suaranya sangat halus, aku duduk bersama seorang ibu dan putri kecilnya yang entah mau kemana. Mereka tampak harmonis. Sesekali, candaan dikeluarkan oleh si anak dengan lugunya. Aku pun ikut tertawa kecil. Dia sangat lucu.

"Mau kemana, Bu?" Tanyaku memulai percakapan. Tentu saja aku bertanya. Ia membawa satu koper sedang yang kutebak isinya pasti sangat penuh. Ibu itu tersenyum.

"Pulang kampung, Mbak. Ndak kuat tinggal di sini." Senyumnya terlihat getir, aura sedih pun mulai terpancar dari wajah si ibu. Aku bingung untuk bertanya lebih lanjut. Kami adalah orang asing, rasanya sangat aneh jika bercerita tentang masalah pribadi seperti itu. Terlebih lagi, aku takut jika kata-kataku ada yang menyinggung hatinya.

"Maaf, Bu. kalau saya boleh tau, kenapa Ibu bisa bilang begitu?"

Ibu itu kembali tersenyum, dielusnya kepala sang anak yang tengah mengamati ke luar jendela.

"Ayahnya sering bertengkar denganku. Kami berdua selalu adu mulut jika sudah malam. Bertengkar urusan ekonomi, lah. Urusan rumah tangga, lah. Tetangga juga bilang kalau kami berdua itu seperti tidak ada waktu untuk akur walaupun Cuma sehari saja. Daripada makan hati, ya... lebih baik saya pergi ta." Kisahnya dengan logat Jawa yang kental walaupun sudah menggunakan bahasa negara. Mendengarkan penjelasan ibu itu, aku pun ikut tersenyum. Rasanya, aku dipaksa untuk kembali ke masa lalu.

Tulip MinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang