23. GERD

828 154 39
                                    

***

"Dugaan sementara, cedera atau kerusakan di hati karena penggunaan obat dengan dosis tinggi, berulang dan tanpa pengawasan dokter. Tapi..." Dokter yang baru beberapa detik yang lalu keluar dari IGD itu kasih penjelasan yang ngegantung.

"Tapi?" Desak Mama Haikal--yang belum lama sampai karena dikabarin sama Bi Ani.

"Nanti dicek lebih lanjut. Mudah-mudahan sore ini hasilnya bisa keluar." Dokter gesek-gesekin kedua tangannya.

Selepas percakapan pendek yang bisa Andara kuping itu, Mama pergi berdua sama dokternya. Ninggalin Andara berdua sama Ido--dua-duanya sama kaget. Terlebih Andara yang udah nangis kenceng karena ngira Haikal nggak ada tadi.

Badannya lemes, nggak ada tenaga buat ngapa-ngapain selain senderan ke punggung kursi tunggu rumah sakit. Ido teleponin semua temen Haikal, cuman Galih yang angkat, katanya mereka langsung pulang dan batal pergi ke curug, lebih mentingin Haikal.

"Kecapekan abis lomba kemaren kali, ya? Salahnya tuh, kamarnya dikunci, jadi nggak kekontrol."

"Udah, jangan dibahas." Andara kesel karena Ido dari tadi malah bahas dan seolah-olah nyalahin Haikal sendiri dari kejadian ini.

Hampir dua jam setelahnya, Haikal dikabarin siuman. Dia belum dipindahin ke ruang inap karena masih cari kamar yang pas dan kosong. Sementara, tetep di IGD, supaya lebih terawasi juga. Temen-temennya bilang paling baru bisa jenguk nanti malem, atau mungkin besok pagi.

Andara masuk satu jam abis Haikal sadar, matanya sipit karena kebanyakan nangis. Ini kedua kalinya dia nangisin Haikal yang lagi-lagi masuk rumah sakit. Dulu karena kecelakaan di jalan raya, sekarang kecelakaan juga.

"Nangis?" tanya Haikal tanpa dosa, ngeliat Andara jalan lesu masuk ke ruangan. Sedangkan dia udah mulai pulih. Ranjang tidurnya agak dinaikin supaya Haikal bisa dapet posisi agak tegap dan nggak sesak lagi.

"Kok nangis?"

"Kik ningis," Andara ngulang ucapan Haikal dengan mimik yang kesel, tapi tetep nggak bisa nyembunyiin raut sedih. Dia duduk di sebelah ranjang Haikal, persis kayak dulu. Baru juga duduk, anaknya udah nangis lagi.

"Apa yang ditangisin?" Haikal ngusap puncak kepala Andara, ngebujuk biar dia berhenti nangis. Karena kalau liat Andara nangis, bawaannya jadi ngerasa bersalah. Haikal jadi ikutan berkaca-kaca.

Haikal mejamin matanya sebentar. "Aku cuman kecapekan."

"Nggak ada orang kecapekan kayak sekarat gitu!" sela Andara. "Kamu abis ngapain sampe pingsan di kamar mandi?" tanyanya ngeinterogasi.

IGD rasanya dingin banget. Entah ac yang terlalu rendah atau badan Haikal yang emang lagi nggak enak. Dia minta Andara kecilin ac-nya, tapi dia nggak tau remotenya ada dimana. Mau minta tolong petugas pun nggak ada yang lewat. Andara inisiatif buka lemari yang ada dan nemu selimut, ngedouble selimut Haikal biar nggak terlalu kedinginan.

"Di kamar mandi, ya? Kirain di kamar tidur."

"Jawabnya yang bener, Haikal." Andara yang kalau udah kesel sekaligus marah, nggak pernah nambahin embel-embel 'kak' di depan nama Haikal.

Hening. Haikal diem, nahan sakit. Sedang Andara juga diem karena nggak tau harus ngomong apa. Lama-lama dia capek selalu dibikin khawatir sama Haikal yang pingsan pas upacara, dikabarin berantem sampe lebam-lebam, masuk rumah sakit, hilang di hutan. Tapi lagi-lagi Andara selalu mikir, kalau nggak sama dia, nanti Haikal bisa nggak ya, buat sendiri?

"Haikal," Mama masuk IGD, dengan raut yang udah ketebak; khawatir, tapi lebih condong ke marah dan kecewa. "Kamu jangan sekali-sekali lagi kayak gitu." Peringatnya, nunjukkin jari telunjuk seolah marahin anak kecil yang diem-diem beli eskrim.

Podcast Haikal [ ✓ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang