Malam telah tiba. Dari balkon kamar, Olivia memandangi bulan dan jutaan bintang di langit sana. Waktu berjalan begitu cepat. Rasanya baru saja duduk di bangku kelas sepuluh, kini sudah duduk di bangku akhir kelas dua belas. Dulu hidupnya terlalu mononton, tapi semenjak Kompetisi Pidato Bahasa Inggris berakhir, semuanya berubah drastis. Patah hati seakan menjadi makanan yang ia konsumsi sekarang. Jujur saja, Olivia sedikit menyesal dan beruntung. Menyesal, karena menempatkan hati di tempat yang salah. Beruntung, karena bisa memenangkan lomba di kala gangguan mental menyerang.
Tok! Tok! Tok!
Olivia menghadap ke belakang. "Masuk."
Kenop pintu ditekan ke bawah, pintu terdorong pelan, dan seorang wanita paruh baya berdiri di sana seraya membawa nampan berisi sepiring nasi juga sosis serta segelas air putih. Ternyata, Ibunya, Soraya.
"Waktunya makan malam, Liv. Kamu belum makan soalnya," ucap Soraya meletakkan nampan di meja belajar Olvia.
"Gak mood," balas Olivia menatap sejenak jatah makan malamnya lalu mengalihkan pandangan ke atas langit.
"Mood atau nggaknya, kamu harus tetep makan." Soraya mengambil nampan itu kembali dan duduk di tepi ranjang. "Mama suapin, gimana? Mau? Hargai Bi Wati yang udah capek-capek nyiapin."
Olivia menghembuskan napas. Demi Bi Wati, ia akan memaksa makanan itu masuk ke dalam lambung. Lantas, Olivia berjalan ke arah bean bag di tepi jendela, menyeretnya mendekati Soraya, dan duduk di sana.
Soraya tersenyum. Ia menyuapkan sesendok nasi dan sosis yang dipotong kecil-kecil pada Olivia. Gadis bungsunya kini sudah menjadi remaja yang cantik. Entah sudah berapa tahun lamanya ia meninggalkan rumah ini, sehingga membuat Soraya meninggalkan fase awal remaja Olivia hingga remaja terakhir. Tidak pernah menjadi tempat curhatnya. Tidak pernah menjadi sandarannya. Dan, idak pernah mengambil rapor sang anak. Bahkan, terakhir kali, ia menghancurkan ekspektasi Olivia dan malah menyuruh gadis berambut panjang itu mewakilkan dirinya meeting. "Maafin Mama atas perbuatan Mama selama ini," ucapnya mendadak.
Olivia berhenti berkunyah, memandang lurus ke depan. Lalu kembali mengunyah makanannya perlahan. "You're not wrong. After all, if fate was already like this, what else could it be like? Including what happened two weeks ago. I was dissapointed, but I've gotten over it." Olivia mengambil napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Bagaimana pun juga, ia harus memaafkan Soraya selama ini. untuk Oliver, dia masih membutuhkan waktu. "I have to forgiven you, Mom," lanjutnya.
"Seriously? Oh, God, thank you so much, girl." Soraya memegang piring dengan satu tangan, sementara tangan lainnya memeluk Olivia. "I'm so proud of you. Once again, pardon me."
"Of course."
"Ngomong-ngomong, kamu udah punya pacar?"
"Ngapain Mama tanya gitu?" tanya balik Olivia hampir saja ia tersedak.
"Nggak papa, sih. Barangkali belum, Mama kenalin sama partner bisnisnya Mama. Pokoknya perfect, deh," jawab Soraya mengacungkan ibu jari.
"Ada fotonya?" tanya Olivia sedikit berpikir.
"Nanti Mama kirim ke kamu."
"Oke."
"Barang-barangmu udah disiapin Bi Wati, jadi tinggal bawa besok."
Olivia mengernyit. "Barang-barang?"
"Kan, kamu besok ke Bali."
"Oh, iya!"
"Kebiasaan. Untuk kali ini, Mama maklumi. Lain kali, kamu harus beresin barangmu sendiri. Barang aja. Soalnya, Bi Wati itu karyawan Mama," cerocos Soraya memberi peringatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Days With You [TERBIT]
Novela JuvenilINSPIRED BY A TRUE STORY "Napa, sih, kamu suka bikin gemes?" tanya Oliver mencubit pipi Olivia yang terlihat lebih tirus dari sebelumnya. "Cubit aja terosss, sampe molor," komentar Olivia mendengus kesal usai pipi terlepas dari cubitan Oliver lalu m...