Jalan

81 12 3
                                    

Pukul sebelas malam kamu terlelap atau malah ditelan relung-relung jiwanya oleh badut yang mendekap lara di pinggir jalan?

..

Pukul tujuh malam ini Nikolai masih terpatri pada hujan dan riasannya yang luruh karena air-air yang ditumpahkannya. Tangan-tangan yang dibungkus sarung tangan merah menyentuh wajah yang kian dingin dan semakin sedih. "Aduh," ujarnya sembari menggaruk kepala karena harus berhenti bekerja lebih awal hari ini.

Sekarang harus pulang dari kepala yang ribut terus berbincang pada tubuh yang lelah, memaksa tungkai-tungkai berjalan, sehingga tas berisi peralatan badut miliknya diangkat tinggi-tinggi dari tanah dan diletakkan di atas kepala Nikolai sebagai pengganti topi kecil hiasan di kepala; tentu ia tidak ingin sakit demam kalau terkena air hujan.

Tas itu berat. Tapi Nikolai tetap berjalan walau sempoyongan memikul beban di atas kepala dan kedua bahunya yang lelah.

Jadi lurus menyusuri jalan yang hujan. Tidak akan mati walau ditelan malam.

Dan juga masih jadi bahan ejekan sekitar kalau badut hari ini pulang dengan senyuman yang menyedihkan.

Nikolai tersenyum saja sudah jadi beban. Serta lara-lara junjungannya menanti kebebasan di setiap malam, di samping rumah; di neraka.

Barangkali berandai apa yang ada di samping kediaman Nikolai. Tapi yang akan didapat bukannya sebuah kebahagiaan atau muaranya yang absolut terang dan menyenangkan, Nikolai selalu benci pada tempat yang berjarak dua langkah menuju kebebasan.

Nikolai melihat lampu jalan yang temaram dan lalu-lalu lalang yang sibuk pada dunia yang mendatangkan waktu setiap harinya dengan darah-darah yang menetes pada jemari yang keriput terlepas dari sarung tangan merah.

Setidaknya tidak ada yang berisik, tidak ada yang berkata dan melakukan hal bengis. Walau sebenarnya, itu tidak buruk bagi Nikolai sendiri, Dengan raut wajah senang serta kurva yang ditarik seakan bersinar, ia hidup kembali.

Tidak.

Benar-benar muak.

Tidak bebas.

Akhirnya sayap burung harus berkepak.

Sebab Nikolai tahu kalau perbuatannya berlawanan dari kemanusiaan yang tercipta pada sosial agar tetap sehat akal pikiran masyarakatnya.

Tapi Nikolai hidup bahagia walau tangannya sudah berdarah, ah tidak—itu menyedihkan.

Bebas dalam benak seharusnya membuktikan bahwa semua perasaan itu membuncah absolut tidak butuh alasan dari akal pikiran dan nurani dari otak. Namun lain ditemukan pada kemerosotan nilai moral dalam diri Nikolai pada pukul sebelas malam yang kian terus berdetak dalam relung jiwa yang telah ia renggut pada malam yang mendingin di sela jari yang tertutup oleh likuid merah cantik, terus menitik menciptakan melodi setara seperti hujan malam ini.

Tidak, sungguh. Nikolai pikir nerakanya menanti. Rumah benar sepi, di sampingnya pula begitu sedih. Kawat-kawat kabel menyalurkan emosi di tiang-tiang jalan yang menjadikan pasak listrik untuk hidup saat ini, Nikolai akui memang ramai dan menuntunnya pada neraka itu sendiri.

Jika jatuh,
bebas, mati,
hidup berakhir,
sedih.

Lantas sampai di akhir,
apa yang Nikolai cari?

Dan seaindainya Nikolai tahu apa yang ada di samping rumah bukanlah sebuah neraka sungguhan.

Sebab neraka yang ia benci terdapat di bawahnya—yang mengalir deras

Sebuah sungai yang tepat untuk bunuh diri. Mungkin kalau benar-benar ingin? []

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 11, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lurus ke Neraka.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang