"Aria."
Mama tersenyum tipis, ia berjalan memasuki studio lukis dan menghampiriku. Di bawah sinar temaram lampu gantung, aku bisa melihat raut wajah Mama yang mulai menua. Ia duduk di sampingku yang tengah melukis.
"Kenapa lampu besarnya nggak dihidupkan?"
Hal yang janggal menurutnya karena aku melukis dengan cahaya lampu remang-remang.
"Mau mencoba sensasi baru, Ma."
Mama menggeleng pelan mendengarnya.
"Ini adikmu yang minta?"
Aku menggeleng, "Hadiah dariku untuknya. Aku nggak bawa apa-apa soalnya."
Aku sangat berterima kasih pada Mama karena telah mengirimkan momen bahagia yang diabadikan dengan apik olehnya ketika acara lamaran.
Ia diam mengamati lukisanku. Kedua sudut bibirnya terangkat. Lalu tatapannya beralih padaku.
"Mama senang kamu pulang."
Aku diam tidak membalas ucapan Mama. Aku bisa merasakan ketulusannya ketika mengucapkan hal itu. Buatku merasa bersalah karena telah menyakiti perasaannya waktu itu.
---
Sejam sebelum acara dimulai kubawa lukisanku ke ballroom hotel tempat acara resepsi dilaksanakan. Sebelumnya aku sudah meminta tolong Mama untuk menghubungi WO agar menyiapkan easel yang kubutuhkan untuk memajang lukisanku nanti.
Aku dapat melihat beberapa orang berhenti berjalan untuk melihat lukisan yang terpajang di dekat pintu masuk. Aku mendengar bisikan-bisik mereka yang tengah memuji karyaku. Adikku dan istrinya berjalan mendekat, Lando bolak-balik melihat pada lukisan dan juga diriku. Ia tersenyum haru dan menitikan air mata melihat sosokku yang nyata. He's still a little boy in my eyes.
"Kak..." Ia memelukku erat tanpa berkata apapun.
"Selamat menempuh hidup baru ya, Lando. Lo harus jadi sosok yang untuk keluarga kecil lo." Aku menepuk-nepuk pundaknya.
Ia melepaskan pelukan sambil mengusap tangisnya. "Kak, makasih ya lo udah datang dan ini beneran bagus banget." Dia menunjuk hadiahku padanya.
Lando mengenalkanku pada istrinya. Aku memeluknya erat, berterima kasih padanya untuk memilih adikku. Anggap aku kakak yang buruk karena melewatkan banyak momen penting adikku. Mereka melanjutkan berkeliling menyapa para tamu. Aku tersenyum simpul pada tamu yang masih mengamati karyaku, lalu aku melipir ke pinggiran mengasingkan diri.
---
Penerbangan malam nanti membuatku memutuskan untuk tetap berada di rumah. Acara kemarin berjalan lancar. Melihatnya kemarin buatku yakin kalau adik kecilku sudah menjadi pria dewasa dan seorang suami untuk istrinya. Aku meyakini Lando bisa menjalankan rumah tangganya dengan baik kelak.
Selepas sarapan aku berpesan pada bibi di rumah untuk mengantarkan makan siangku ke studio belakang. Hampir empat jam aku berkutat dengan kanvas dan kawan-kawannya, bahuku terasa kebas. Kujatuhkan badanku di sofa yang menghadap taman belakang. Lewat dinding kaca besarnya aku bisa mengamati taman belakang dengan leluasa. Kubuat posisi berbaring di sofa senyaman mungkin. Mataku terpejam sejenak. Bau makanan berpadu dengan parfum menggelitik indra penciumanku. Kubuka mata, di sana ada pria yang berdiri sambil membawa nampan berisi makanan dan minuman.
"Hei," sapanya.
Ia meletakkan nampan di atas meja, kemudian duduk di sampingku berjarak satu dudukan orang. Aku mengusap wajah, lalu menyesap air putih dari gelas di atas nampan.
"Kamu nggak terlihat terkejut melihatku."
"Your perfume."
Dia tertawa pelan, "Yeah I didn't change it since you told me it smelled sweet and you liked it."