AMPAI

5 0 0
                                    



Bagi sebagian orang, berkelakar tentang fisik mungkin biasa. Tetapi tidak bagiku. Berkelakar tentang fisikku, kuanggap sama dengan menghinaku secara langsung. Entahlah, mungkin karena aku telah menerima perlakuan tak mengenakkan sejak kecil. Perundungan istilahnya.

Sejak aku duduk di bangku sekolah dasar, beberapa teman kerap memanggilku "si gendut". Meski hanya sebagian kecil dari murid-murid di sekolah, tetapi perlakuan mereka sangat membuat duniaku suram. Aku sedih. Rasa percaya diri kian hari kian menurun. Aku akan menampakkan wajah kesalku jika mereka mulai merundungku. Namun, alih-alih meminta maaf, para perundung itu malah makin mengejekku.

Aku tak paham mengapa aku memiliki tubuh setambun ini. Dulu, aku sempat tak ingin makan seharian demi menurunkan berat badan, yang mengakibatkan mama marah kepadaku. Sekarang pun tak jauh beda. Aku melakukan program penurunan berat badan. Mulai dari mengurangi porsi makan hingga berolah raga rutin. Namun, angka timbangan tak mau bersahabat agar bergeser ke kiri. Alhasil, perundungan verbal pun masih kuterima hingga saat ini. Lucunya, para perundung itu memiliki pola yang sama. Alih-alih meminta maaf, ketika aku marah karena ulah mereka, mereka justru bersembunyi di balik kalimat: "Ah, jangan baper dong."

Seperti sekarang. Linda baru saja mengejekku habis-habisan di depan Jeremi--kakak kelas terganteng di mataku. Rasanya ingin kubenamkan saja mukaku, saat melihat ekspresi iba Jeremi terhadapku. Aku berlari ke taman sekolah yang sepi. Kutumpahkan semua sakit hatiku di bawah pohon trembesi.

"Sudah dong nangisnya. Kamu tuh enggak sejelek yang mereka bicarakan. Kamu memiliki kelebihan yang orang lain enggak punya. Bangkit, Han," ucap Dewi sahabatku, yang selalu memberi kekuatan mentalku yang sering luruh dan rontok bagai daun musim gugur.

"Aku hanya memiliki satu kelebihan yang menonjol, Wi," isakku.

"Nah, bagus, kalau kamu sudah menyadari kelebihanmu itu," balas Dewi tersenyum.

"Kelebihan berat badan, Wi." tangisku makin pecah merasa Dewi tak cukup mengenalku.

"Aku bisa pura-pura bahagia saat enggak menang lomba. Aku juga bisa pura-pura perhatian saat orang butuh bantuan. Aku pun bisa pura-pura lupa saat kamu menagih utang. Tapi, aku enggak bisa pura-pura langsing di depan cowok idaman," kataku dengan sesegukan yang makin membuat Dewi kebingungan

RUANG BAWAH TANAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang