Bagi Pertiwi, tak ada yang lebih memusingkan selain menatap wajah Anya saat gadis itu minta izin untuk pergi mendaki gunung.
"Acara pengkaderan anggota baru, Ma. Anya wakil ketum, lho, masa ga ikut?"
Pertiwi memijit keningnya. Pusing.
Sejak Anya masih kanak-kanak, Pertiwi tahu anak perempuannya itu tidak tertarik menjadi seorang puteri. Anya suka sekali bertualang. Tak terhitung berapa kali Pertiwi harus mengingatkan gadis itu untuk pamit sebelum pergi; karena Anya sering sekali tiba-tiba menghilang dari rumah dan baru pulang menjelang maghrib dengan baju yang sudah kotor--atau malah basah sehabis berenang di laut atau di mana lah.
Pertiwi boleh saja mengizinkan anak gadisnya itu bertualang ke lokasi antah-berantah, namun mendaki gunung tetap menjadi pengecualian. Bertahun-tahun ia berusaha mengarahkan minat Anya agar menjauh dari hal-hal yang berbau pendakian. Awalnya mudah saja--mereka tinggal di daerah pesisir yang cukup jauh dari dataran tinggi. Namun semua usahanya seketika sia-sia saat Anya mengenal organisasi pecinta alam di kampusnya.
Belum genap setahun bergabung, gadis itu sudah ambisius mendaki ke dua dari tujuh puncak tertinggi di seluruh negeri. Belum termasuk belasan kegiatan ekspedisi yang dilakukannya bersama berbagai organisasi tingkat nasional. Pertiwi tak kuasa melarang; dan, sepertinya, gen petualang itu memang mustahil dilenyapkan.
"Acaranya di Rinjani, Ma. Anya udah nabung buat ke sana. Semua persiapan sudah beres. Tinggal pesan tiket. Boleh, ya, Ma?"
Tak ada jawaban. Pertiwi justru kembali menekuni laptopnya. Anya mengernyit.
"Ma? Kalo mama ga jawab, Anya anggap boleh, nih," kata Anya, menyeringai.
"Ke Rinjani, ya? Seminggu? Sama anak-anak mapala?"
"Betul sekali, ibu Pertiwi, mamaku yang cantik," Anya mengangguk dengan bersemangat. "Cuma seminggu, kok. Di gunung mungkin camping dua atau tiga hari. Ga lama, ma. Boleh, kan?"
"Bukan itu masalahnya, Anya," Pertiwi membatin. Menghela napas.
Kalau dipikir-pikir, ibu manapun pasti akan cemas ketika putri tunggalnya pecicilan mendaki dan menyusuri hutan. Namun, Pertiwi menyadari, kalau dilarang, Anya justru akan pergi tanpa bilang alias semakin buruk dampaknya. Lagipula, seberat apapun medan yang harus dilalui, Anya tidak pernah mengeluh apalagi sampai jatuh sakit sehingga kecemasan Pertiwi sedikit berkurang.
Meskipun demikian, Pertiwi tetap tak bisa mengenyahkan perasaan tidak nyaman yang muncul setiap kali melihat foto-foto Anya berkeliaran di pegunungan. Pertiwi bisa saja mengizinkan Anya bertualang menyusuri Cemoro Sewu, berkemah di gunung Pangrango, hingga menyapa pulau Jawa dan Sumatera dari dataran tertingginya di puncak Mahameru dan Indrapura. Boleh saja Pertiwi 'tega' melepas putrinya bertualang ke gunung Anak Krakatau hanya beberapa bulan berselang setelah meletus, atau membiarkan gadis itu berkeliaran di lereng gunung Merapi.
Namun, gunung Rinjani adalah cerita lain.
"Anya belum pernah naik ke Rinjani, lho, Ma. Kan, lumayan buat nambahin koleksi foto anak kebangaan Mama." Anya nyengir, masih belum menyerah membujuk Pertiwi.
"Mama pikir-pikir dulu, deh," jawab Pertiwi akhirnya. Menyeringai pada Anya yang langsung ber-"yaah" panjang. Kecewa.
Setengah jam kemudian, Anya pergi ke kamarnya sambil cemberut. Rayuannya gagal. Pertiwi masih menolak memberi izin. Entah apa alasannya. Padahal gunung Rinjani adalah gunung yang paling ingin Anya "sentuh" puncaknya--terutama karena Rinjani berada di pulau kelahirannya.
Mamanya tidak pernah cerita apapun soal masa kecil Anya. Ingatan masa kanak-kanak Anya seluruhnya adalah tentang kota pesisir tempat tinggalnya saat ini. Kenangan Anya akan tanah kelahirannya hampir sama banyaknya dengan yang Anya tau tentang papanya.
Papa yang hanya dikenalnya lewat foto dan cerita-cerita dari mamanya.
Anya menatap satu foto yang tergantung bersama foto-foto lainnya di atas meja belajar. Foto itu adalah satu-satunya foto yang di dalamnya tidak ada wajah Anya maupun Pertiwi, mamanya. Foto seorang pemuda yang tersenyum lebar--dan mirip dengan senyum Anya--dengan latar belakang langit putih. Foto yang Anya ambil diam-diam dari album foto di kamar mamanya.
Pertiwi sudah banyak bercerita tentang papa Anya, namun tidak pernah sekalipun Pertiwi menyebutkan bahwa lelaki juga suka bertualang dan mendaki gunung. Berkat foto itu, Anya jadi tau darimana kecintaannya akan alam berasal--karena meskipun suka sekali menyelam, Pertiwi kurang menyukai bepergian terutama ke kawasan hutan.
Di kamar yang berbeda, Pertiwi termenung memikirkan putri tunggalnya. Setiap kali melepas Anya pergi bertualang, Pertiwi susah payah berusaha menekan kecemasannya dan meyakinkan diri bahwa Anya akan pulang dengan selamat. Sesekali muncul keinginan untuk melarang Anya pergi, namun antusiasme di wajah gadis selalu itu meruntuhkan pertahanan Pertiwi.
Pertiwi menghela napas. Tatapannya jatuh pada bingkai foto di atas meja kerja. Dua wajah kecil yang sedang tersenyum lebar balas menatapnya. Masing-masing mengenakan jaket berwarna biru dan hitam, duduk berdua di tepi danau Segara Anak. Pertiwi masih ingat betul kapan foto itu diambil: ketika untuk pertama kalinya Pertiwi mendaki gunung bersama Samudera.
Selain sifat keras kepala dan caranya tersenyum, sepertinya jiwa kebebasan Samudera juga sempurna diwarisi juga oleh putri semata wayangnya.
...dan Pertiwi jelas tidak ingin Anya pergi seperti cara Samudera meninggalkannya.