6 | We Are The Same

1 0 0
                                    

Aku meniti selasar berdinding putih dan coklat muda. Dengan aroma antiseptik khas yang sejujurnya aku senangi. Namun kali ini terasa memuakkan.

Dari jarak sepuluh langkah aku mendapati Seokgyu di kursi tunggu tidak jauh dari pintu IGD. Jantungku mengembang dan mengempis tidak tenang melihat penampilan Seokgyu yang luar biasa kacau. Jauh di luar dugaanku.

Selain aku sudah lama tidak bertemu dengannya secara langsung, juga aku tidak pernah melihat Seokgyu seperti ini, bahkan membayangkannya saja tidak pernah. Aku jadi bingung mau kesal atau bersimpati dengannya?

Rambutnya urakan seperti baru bangun tidur. Seokgyu itu tipe perfeksionis, biasanya sekalipun rambutnya tidak klimis dia akan tetap tertata rapih seperti delegasi MUN. Dasinya longgar, dua kancing atas kemejanya dilepas, dan dia berkeringat di ruangan ber-AC. Yang pasti pemandangan ini langka untuk seorang Seokgyu, bahkan mungkin karyawan di kantornya tidak pernah melihat pemimpinnya begini meski dia sedang marah besar.

Selangkah setelah dia melihatku, pria tinggi itu dengan cepat meraih tubuhku masuk ke dalam pelukannya. Aku diam tidak membalas, bingung.
Rasa kesal masih membalon besar di dalam dada. Tubuhnya gemetar, dan sangat hangat. Aku paham. Aku seperti sedang memeluk diriku sendiri. Kami sama-sama khawatir dan takut.

Usia penyakit nenek sudah genap 29 tahun. Selain nenek memiliki penyakit Artritis, yaitu kondisi umum yang dialami setiap lansia, berupa nyeri-nyeri sendi. Nenek juga memiliki riwayat penyakit jantung sejak lama. Kekuatan otot jantung nenek menurun, begitu juga dengan fungsinya dalam memompa darah. Apalagi nenek juga pengidap Aterosklerosis pada jantung yang menyebabkan penyakit jantung Koroner.

Nenek setipe denganku, si pemakan segala dan tidak begitu peduli dengan kesehatan masa depan, bukan sih, bahasa kami adalah kami terlalu percaya Tuhan. Kalau Tuhan berkata kami punya penyakit tertentu ya terjadilah tapi jika Tuhan bilang tidak ya tidak terjadi.

Tapi itu dulu, saat aku kecil usiaku sekitar 6 tahun, saat cita-citaku masih ingin jadi arsitek. Aku termasuk anak kecil nakal yang susah diberi nasihat. Melakukan apapun semauku. Tapi entah bagaimana, aku seolah mengikuti pola hidup nenek.

Tiga tahun sebelum akhirnya aku kuliah kedokteran, aku mulai mendalami Sains dan menjunjung tinggi arti kesehatan masa depan. Aku dan nenek berjuang untuk menghindari keinginan makan atau minum yang tidak baik untuk kesehatan masa depan. Kecuali minum alkohol. Kupikir perubahan tersebut sudah memiliki dampak yang baik bagi kesehatan kami.

Tapi Tuhan bilang nenek harus mengalami ini. Semakin bertambahnya usia, penyakitnya bukannya membaik malah semakin melemahkan diri perempuan baya kesayanganku.

Aku tahu beberapa bulan terakhir kondisinya pernah drop. Beliau mengalami keterbatasan dalam gerak dan melakukan aktifitas. Pernah sebagian waktu di antaranya beliau harus berbaring di tempat tidur dalam waktu yang lama. Akhirnya menimbulkan masalah baru, yaitu Ulkus Dekubitus atau infeksi paru-paru.

Ketika beliau kambuh, aku langsung menyempatkan diri datang di tengah waktu kosong konser tour di Busan. Dan sekarang lagi.

"Seozee ... jangan sakit yaaa, kumohon jaga kesehatan, Dokter harus sehat," kicau Gyu parau. Pelukannya yang tiada henti mengerat cukup membuatku sesak. Dia hanya meluapkan emosinya pada tubuhku tanpa memberikan kenyamanan yang harusnya kuterima.

"Oppa tolong ...." Aku melepas rekatan tubuh kami lalu menarik kerah kemejanya seperti mengancam sesuatu. Tanganku dengan cepat melepas simpul dasinya lalu menarik kain tersebut dari lehernya.

"Aku masuk dulu." Setelah itu aku menarik lengan Jaehwa berjalan bersamaku sambil memasukan dasi Gyu sembarang ke dalam tasku.

"D-dia siaㅡ"

Beautiful WreckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang