Malam ini terasa menyejukkan. Sebuah mobil berhenti tepat di depan sebuah rumah mewah. Seorang wanita dan pria paruh baya turun dari mobil tersebut. Dari bagian belakang mobil, sepasang kaki jenjang milik seorang gadis, turun perlahan dengan penuh keanggunan.
Gadis itu mengeluarkan kepalanya, menerbitkan seringai tipis yang mampu membuat candu. Ia terlihat dewasa, berkulit putih, dan bertubuh mungil dengan lekukan pinggang yang terlihat sangat jelas.
Dialah, Yorala Ataxaria.
"Kita tinggal di sini, Bun?" tanya Yorala, menatap kagum rumah barunya itu.
"Bukan, tinggal di kuburan." timpal Yasada Ataxaria-kakak Yorala-ia baru keluar dari mobil.
"Wawww! Zombie jelekkkk!" Yorala berteriak histeris menunjuk-nunjuk Yasada.
"Diem lo, Suster Merosot!" semprot Yasada, membuat Yorala langsung membuang muka.
"Iya, Sayang." sela Safa, mama Yorala. Wanita itu membelai rambut putrinya. "Gimana, kamu suka?"
"Suka, Bun." balas semangat Yorala, ia beralih menatap ayahnya, Anton. "Kita berapa lama di sini, Yah?"
"Selamanya aja, ya, Sayang." sahut Anton. "Ayah mau nerusin bisnis kita di sini. Nggak apa-apa, kan?"
"Enggak, dong, Yah!" Yorala tersenyum senang. "Yora seneng, kok, tinggal di Jakarta!"
Jadi, bisa deket terus sama Gizara, deh, ahay, Sayang!
"Seneng karena bisa pacaran, kan, lo?!" cibir Yasada.
"Tau aja lo, Ngab!" sembur Yorala. "Lo jangan-jangan emang titisan Roy Kiyosi, ya!"
Yasada berdesis, bersedekap di dada, dan tersenyum picik menatap adiknya itu. Mereka hanya selisih dua tahun. Jadi, mereka lebih terlihat seperti sahabat dibanding sebagai saudara.
"Ya udah," Safa yang terkekeh melihat kedua anaknya, langsung menggandeng Yorala. "Yuk, masuk!"
Gadis itu tersenyum mengangguk, dan mengambil koper di sebelahnya. Ia mengikuti iringan bundanya untuk memasuki rumah itu, diikuti Yasada dan Anton.
"Sayang, kamar kamu di atas, ya!" Safa memberi tahu. "Masuk, istirahat! Kamu pasti capek."
"Loh, bukannya kamar Yora di gudang, Bun?" celetuk Yasada.
"Apa, sih?!" tanya Yorala tidak suka. "Garing, tau, gak?!"
"Kamar kamu yang di gudang, Bang!" hardik Safa.
"Jahat banget, Bun." Yasada memasang wajah memelas. "Serasa dianaksirikan, nih, Bun."
"Apa, sih, Bang?!" Safa mulai kesal dengan kelakuan putra sulungnya itu. "Gak jelas banget."
"Udah, udah, cepet kalian masuk ke kamar masing-masing." relai Anton. "Udah malem, langsung tidur."
"Iya, Yah!" patuh Yorala.
"Hus! Sana lo, ah!" usir Yasada. "Adik geblek."
"Yee, ngegas! Bye Abangku, Si Jomblo gak laku!" Yorala tertawa di kalimat terakhirnya. Gadis itu berlarian meninggalkan Yasada yang tengah menggerutuki sikap menyebalkan dirinya itu.
"Dasar, titisan Dajjal!" umpat Yasada.
Yorala menaiki tangga menuju kamarnya yang ada di lantai atas. Senyuman di bibirnya benar-benar tidak bisa luntur. Ia sangat senang bisa tinggal di Jakarta karena itu artinya dia tidak harus melakukan pacaran jarak jauh dengan kekasihnya, Gizara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia dalam Karya (Terbit)
Teen FictionAntara pura-pura dicintai dan pura-pura dibenci, manakah yang lebih menyakitkan?