Selama ini, aku tidak pernah mempercayai adanya keberadaan makhluk mitos. Sebut saja pixie, monster, elf, dan bahkan dewa-dewi--pun demikian, harus kuakui bahwa aku suka membaca cerita-cerita tentang mitologi dunia; meskipun itu hanyalah sebuah penghiburan untukku.
Jadi, tentu saja aku setengah tidak percaya dengan kalimat yang dilontarkan Schatz.
"Apa?! Whoa, whoa, Schatz--kau pasti bercanda, peri cilik." Aku mengerutkan kening, tidak habis pikir bagaimana Schatz mampu menciptakan lelucon semacam itu. "Kau pasti tengah membohongiku, kan?"
Dituduh, hanya perputaran bola mata yang terjadi seraya menghela nafas. "Mau Rebecca yang manapun, kulihat sifat kalian berdua sama saja, ya," komentarnya berbasa-basi, namun aku tak menghiraukannya sedikitpun.
"Terserahmu saja kalau kau tidak mau mempercayaiku, Rebecca." Mengerucutlah bibir tanda kesal, sementara di depan dada terlipat kedua tangan angkuh. "Tapi, asal kau tahu saja--The Queen yang memberitahuku demikian," ujarnya.
"Dan The Queen tidak pernah salah." Ia menyatakan, samar tampaklah nada bangga terselip di kalimatnya. Aku terhenyak, kuakui itu. Sesuatu yang terlalu besar dampaknya, bukanlah sesuatu yang terpikirkan olehku. Orang banyak berkata, otakku terlalu dangkal. Masihlah aku tak mengerti apakah itu lelucon belaka ataukah mereka serius dengan perkataan mereka.
"Lalu," Nada frustasi terselip, "apalah yang harus kulakukan, Schatz? Ini tidak mungkin terjadi seperti yang banyak terjadi di film, benar? Di mana aku akan menjadi tokoh utama dan seorang penyelamat dunia--"
Schatz menjentikkan jarinya, berbinarlah mata tanda senang.
"Kalimat yang sangat sempurna dari seorang heroine, Rebecca!" ujarnya bersemangat. "Ya, ya--kau dan aku, kita akan menjadi partner! Wah, itu sungguh luar biasa! Aku, yang sempurna ini!"
"Kata seseorang yang tadi berkata bahwa dirinya sering diejek oleh teman-temannya." Aku menyambung malas, disambut Schatz yang mendelik ke arahku.
"Lupakan tentang aku dan masalahku. Intinya," Schatz berdeham sejenak, "Uh... Kau harus menyelamatkan duniamu. Untuk itulah, Rebecca yang asli memanggilmu kemari."
Rebecca yang asli? Alisku terangkat. "Maksudmu aku palsu? Eh--tunggu." Apa katanya tadi? "Memanggilku? Mengapa tidak ia sendiri saja yang mengatasi slime tanpa membawa-bawa diriku?"
Schatz melipat tangan di depan dadanya, mendarat sempurna di atas meja di dekatku dan duduk bersila. "Dengar ya, Nona," Ia mendengus, merasa malas untuk menjelaskan semuanya.
"Untuk mengalahkan slime yang mempunyai portal ke duniamu, harus seseorang dari dunia itulah yang membunuhnya. Jika tidak, maka tidak akan berefek apa-apa, sehingga duniamu tetap akan hancur." Pixie mungil itu menjelaskan panjang lebar, sinar serius terpancar dari kedua matanya. "Penelitian di dunia ini sudah jauh. Dari hasil penelitian tentang dunia paralel itulah, Rebecca berhasil tahu bahwa ada Rebecca lain di duniamu, yaitu kau," kata Schatz seraya mengacungkan telunjuknya, menunjuk tepat ke arahku.
"Mengapa begitu? Bukankah siapapun yang membunuhnya itu sama saja?"
Schatz menggeleng cepat. "Tidak semudah itu," tegasnya. "Slime bukanlah makhluk sembarangan. Efek yang ditimbulkan akan bergantung pada siapa yang membunuhnya," demikian jelasnya.
"Jadi, kalau mau berefek agar duniaku tidak hancur, seseorang dari duniaku harus membunuhnya? Karena itulah--"
"Karena itulah, Reb memanggilmu." Schatz melanjutkan kalimatku, tersenyum puas karena aku berhasil mengerti maksudnya. "Jadi, untuk menyelamatkan duniamu, kau harus membunuh slime. Dengan membunuh slime, maka kau berhasil menyelamatkan Ibumu juga--yah, walaupun bukan benar-benar 'Ibu'mu, sih."
Aku mengangguk mengerti. "Jadi? Bagaimana kita bisa membunuh slime?"
Lagi-lagi, Schatz menjentikkan jarinya. Kali ini, muncul sebuah peta entah dari mana, jatuh tepat pada meja di dekat tempat Schatz duduk. Peta dunia ini, tampaknya demikian. Entah mengapa, tapi menurutku, isi peta tersebut tampak seperti peta negeri dongeng.
"Untuk menuju kediaman slime," Jemari Schatz menunjuk pada rentetan kata berjudul 'Slime Tower', "kita harus melewati hutan. Itu sebuah kepastian." Jemarinya berpindah, menunjuk gambar hamparan pohon-pohon berwarna hijau pekat.
Sungguh menyeramkan. Bahkan, membayangkannya saja cukup membuatku bergidik.
"Tak adakah jalan lain untuk menempuhnya selain hutan?" Aku menghela nafas.
"Sayangnya tidak ada." Schatz menggeleng. Tak ada jalan lain selain hutan, bagus sekali. "Namun, hutan itu berbahaya. Hutan penuh dengan makhluk berkekuatan magis. Para ilmuwan bahkan mengklasifikasikan mereka dengan level, dan yang tertinggi adalah SSS. Slime sendiri mempunyai level yang paling berbeda, dan berkategori paling kuat: N/A--Not Available. Dengan kata lain, tak terdefinisi."
Whoa. SSS dan N/A. Ternyata hal semacam itu benar-benar ada, ya? Kupikir, hanya di game saja hal semacam itu ada. Rasanya, ini memang tidak masuk akal. Belum sampai di situ, Schatz kembali mengejutkanku dengan serentetan kalimatnya yang lain.
"Untuk mengalahkan monster-monster yang lebih hebat dari slime, dan tentu saja untuk mengalahkan slime, kau butuh latihan," Schatz menyunggingkan senyuman penuh arti sebelum kembali terbang mengudara dan menunjukku dengan telunjuk mungilnya.
"Ayo bangkit, pemalas. Kita harus pergi segera. Rutinitas latihan nerakamu baru saja dimulai."
KAMU SEDANG MEMBACA
Slime
FantasyDua dunia yang terlihat sama-namun, apakah benar-benar seratus persen sama, dengan segala rintangan dan bahaya yang menunggu di salah satunya?