"Ibu, bagaimana aku bisa ke sekolah, hari ini Pak Tarjo kenapa tidak datang. Mana tugasku belum selesai ditambah lagi jam pertama aku ulangan Fisika. Bagaimana ini, Ibu?" keluh Koko begitu tahu kalau supir keluarganya tidak datang.
"Lho kamu kan bisa naik pete-pete?" jawab ibunya sambil menyiapkan bekal kedua anaknya.
"Nggak bisa, Ibu. Bisa-bisa nanti aku terlambat. Mana hujan lagi. Memang Pak Tarjo kenapa nggak datang, Bu? Kan kita repot jadinya." Protes Koko.
"Kita harus memakluminya. Tidak ada orang yang tidak memiliki halangan. Hari ini Pak Tarjo akan mengantar istrinya berobat. Ibu bisa kok antar antar kalian. Kaila apa kamu sudah siap?" seru Ibunya.
"Sudah, Ibu." Jawab Kaila menenteng tas rangselnya, keluar dari kamarnya.
"Aku diantar duluan ya, Bu." pinta Koko.
'Nggak bisalah, letak sekolahku kan lebih dekat dari rumah. Jadi aku duluan." bantah Kaila.
"Tapi aku ulangan, Kaila. Lagian kamu masuknya kan pukul 07.30." Koko berusaha mempengaruhi adiknya.
"Baiklah, Bos, emang kalau kakak itu kan maunya menang. Apa-apa maunya duluan. Biarlah aku mengalah." Reaksi Kaila.
"Ayo cepat nanti kalian terlambat." Ajak Ibunya.***
Kehidupan keluarga Koko yang memiliki nama lengkap Andi Kahyangko Kahar, merupakan keluarga yang berkecukupan. Ia dan adiknya, Kaila, tinggal bersama Sang Ibu. Meskipun bersekolah di sekolah negeri, Koko dan Kaila jarang bersosialisasi dengan temannya. Jarangnya bersosialisasi dengan teman pada waktu kecil menjadi masalah tersendiri bagi diri Koko. Dia tidak mampu mengatasi egonya. Dia selalu ingin menang sendiri, tidak peduli dengan orang lain, tidak mau berkorban. Koko tumbuh menjadi anak yang tidak dapat mengatasi egonya.
Sejak kecil ibunya memprotek anak-anaknya dengan melarang mereka bergaul dengan teman di sekitar rumahnya. Semua kebutuhan dan segala keinginan anak-anaknya terpenuhi. Guru les juga didatangkan untuk semua mata pelajaran. Pantaslah kalau semasa sekolah di masa sekolah di SMA ia merupakan siswa berprestasi, beberapa kali menjadi juara umum di angkatannya. Di kegiatan ekskul paskibraka ia sangat aktif dan berprestasi.
Bapaknya seorang dosen Perguruan Tinggi Negeri dan tinggal di kota lain. Waktu itu bapaknya berencana pulang namun cuaca yang ekstrim membuat mereka was-was menunggu kedatangan Bapak. Hujan sore itu begitu deras. Suara guntur menggelegar bersaut-sahutan. Bukan saja suara itu saja, suara air pun seperti air diguyur dari langit, suara desiran angin pun terasa menyapa tubuh kami. Dari sisi kanan rumah nampak dahan dan ranting pepohonan meliuk-liuk, menari mengikuti angin. Sesekali guntur menggelegar yang sebelumnya diawali dengan kilat yang berkelebat.
"Semoga sudah landing, Bapakmu, Nak, cuaca begitu ekstrim," suara ibu terdengar samar-samar berbaur dengan kerasnya suara hujan, meskipun kami duduk berhadapan di sofa ruang tengah.
"Iye, Bu?" Kaila menegaskan ulang apa yang dikatakan ibunya.
"Bapakmu," ibu mengulang kata-katanya sambil mengarahkan telunjuknya ke atas.
"Oh Bapak, ini Bu, Koko sudah tahu kalau pesawat yang Bapak naiki sudah mendarat," katanya.
"Alhamdulillah, tapi kenapa kamu tahu, Koko? Apa kamu habis menelepon petugas bandara?" selidik ibu dengan penuh rasa heran.
"Nggak, Bu. Ini," Jawab Koko sambil menunjukkan hapenya.
"Masa iya bisa dilihat dari hape?" Ibunya semakin penasaran.
"Ini, Bu pakai aplikasi FlightStats. Banyak aplikasi yang bisa dipakai untuk memantau pergerakan pesawat," Koko menjelaskan kepada ibunya.
"Oh begitu," kata ibu sambil mengangguk. "Tapi mengapa Bapak belum sampai ya?"
"Nah yang itu tidak bisa dipakai aplikasi, Bu, coba Ibu telepon." Kata Kaila.
Betapa kagetnya mereka, ternyata nomor hape Pak Kahar belum bisa dihubungi. Tidak seperti biasanya Bapak tidak meminta dijemput sama ibu. Jam dinding sudah menunjukkan pukul lima. Hujan, guntur dan kilat pun mereda. Ibu beserta dua anak masih duduk di sofa ruang tengah. Tak henti-hentinya mereka berusaha menghubungi Bapaknya, namun tetap saja hape bapaknya belum bisa dihubungi. Jarak yang tidak terlalu jauh antara rumah dengan bandara semestinya Bapak sudah sampai.
"Ayolah kita salat magrib dulu, di masjid sudah terdengar azan," ibunya memberi arahan mengajak salat.
Kami segera menyiapkan diri untuk salat berjamaah. Tiba-tiba terdengar pintu depan diketuk, dan terdengar suara seseorang memberi salam. Alhamdulillah Bapak sudah datang. Tidak banyak cerita langsung bapak mengambil air wudu dan menjadi imam salat magrib. Kami duduk setelah selesai salat.
"Bu maafkan Bapak ya," kata Bapak setelah mereka bersalaman.
"Kenapa Bapak minta maaf? Tidak ada yang salah kok, Pak." Kata Ibu.
"Coba Ibu lihat," kata Bapak sambil meluruskan tangan kanannya,
"Jam tangan Bapak?" reaksi ibu setelah melihat jam tangan Aigner, merek terkenal yang merupakan hadiah ulang tahun bapak hilang.
"Iya Bu, jam tangan Bapak hilang. Hape juga ikut hilang, dirampok ketika bapak dalam perjalanan pulang." kata bapak.
"Kok bisa? Bukannya biasanya Bapak naik taksi bandara?" sambung Ibu.
"Iya Bapak naik taksi bandara, tapi, ya itu salah Bapak." Kata Bapak menjelaskan dengan tenang.
Koko dan Kaila masih menyimak cerita bapak dengan saksama. Ada rasa penasaran mengapa sampai bapaknya dirampok.
"Pantas saja tadi kami mencoba menghubungi Bapak, hapenya tidak aktif," Kata Kaila.
"Ceritanya bagaimana, Pak?" Kata Koko penasaran.
Bapaknya mulai menjelaskan kronologis kejadiannya. Pada waktu bapak sudah berada di taksi Bandara, tidak jauh dari bandara, tepatnya di halte pertama jalan keluar dari bandara ada seorang laki-laki yang meminta tolong menumpang di taksi yang bapak naiki. Karena kasihan dan situasi waktu itu masih hujan makanya bapak menyetujuinya. Ternyata yang bapak beri tumpangan adalah orang jahat. Dia menggasak jam tangan dan hape bapak. Beruntung dompet bapak tidak dirampok, karena bapak letakkan di sisi samping tas. Bapak tidak bisa melawan karena perampoknya membawa pisau lipat.
"Alah paling kerjasama supirnya?" sela ibu.
"Itu bapak tidak tahu. Karena setelah mendapatkan jam tangan dan hape bapak, perampok itu juga mengancam supir taksi dengan pisau lipat yang dibawanya.
"Iyalah pura-puranya mengancam padahal sebenarnya mereka sekongkol." Kata ibunya lagi.
"Jangan suudzon, Bu kalau tidak benar kan ibu yang berdosa."
"Iya kan sayang Pak jam tangan dan hape Bapak kan mahal," kata ibunya lagi.
"Ya, Bapak tidak bisa berbuat apa-apa. Sudahlah semoga pihak polisi bisa membereskannya. Bapak tadi sudah lapor di kantor polisi." Kata bapak dengan tenang,
"Iya Pak, semoga bisa ditemukan perampoknya. Kan sayang hape dan jam tangan mahal, Bapak." kata Kaila.
"Iya juga tapi kalau sudah hilang mau diapakan." Kata bapak.
"Oh pantas Bapak lama sampai di rumah, sampai masakan saya dingin Pak," kata Mbak Sami yang ternyata ikut nguping cerita bapak.
"Ya sudah Mba, panasi lagi masakannya dan siapkan makan malam, kita akan makan bersama. Bapak pasti sudah lapar. Ibu sudah masakkan coto kesukaan Bapak. Kita masih bersyukur Bapak baik-baik tidak disakiti oleh perampok tadi." Kata ibu.
"Iye Bu, sudah saya panasi lagi tadi, sekarang sudah siap, Bu" kata Mba Sami.
"Kalau begitu, tolong bongkar oleh-oleh Bapak, Mba," kata Bapak kemudian.
Pah Kahar memang selalu berkeyakinan bahwa Allah akan mengganti barang yang hilang dengan rezeki lain yang lebih baik. Sepertinya akhir pekan kali ini menjadi akhir pekan yang diwarnai dengan tragedi yang Pak Kahar alami. Namun bagi Koko dan Kayla adalah akhir pekan yang menyenangkan karena bisa melewatkan akhir pekan ini dengan melepas kerinduan sama Bapaknya yang berdomisili di kota lain.
Setelah selesai makan, mereka duduk-duduk sambil ngobrol bersama bapak, ibu dan adiknya sambil menikmati oleh-oleh yang dibawa oleh Bapaknya. Sebenarnya tujuan mereka sekadar melepas kangen setelah sekian lama tidak bertemu. Pak Kahar menanyakan keadaan mereka selama bapaknya tidak berada di rumah. Mereka juga membicarakan perkembangan kegiatan belajar anak-anaknya. Kemudian bapaknya menanyakan kelanjutan studi anak pertamanya. Dari cerita yang pernah bapaknya alami di rumah sakit dan cita-cita bapaknya yang tidak kesampaian sepertinya Koko mengetahui bahwa Bapaknya menginginkan ia menjadi dokter. Hati kecil Koko mulai membaca arah keinginan bapaknya, namun dia tidak berani melawan Bapaknya. Dia membiarkan saja apa yang menjadi obsesi Bapaknya. Asik sekali sepertinya cara keluarga itu dalam melepas kangen. Tidak terasa mereka bercengkerama sampai larut malam.
Bel rumah Pak Kahar berbunyi tidak satu kali tetapi berkali-kali. Tidak cukup dengan menekan bel, suara salam juga terdengar. Mereka tidak mengenali suara itu. Spontan mereka diam sambil mencermati sumber suara. Terdengar lagi suara mengucapkan salam untuk kedua kalinya. Kalau dari warna suara, sepertinya suara laki-laki. Tapi mereka heran mengapa ada tamu malam-malam seperti ini.Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
DIA YANG TAK PERNAH PADAM
General FictionMeskipun dia orang yang serba kecukupan, perjuangan mencapai cita-citanya harus dilakukan dengan sekuat tenaga. Koko mewujudkan cita-cita secara mandiri. Tidak terbayangkan keadaan akan sesulit dan serumit ini. Perlawanan yang dia lakukan menjadi pe...