BAB 1

83 11 9
                                    



Hidup itu perjalanan, semenyerah apapun kamu saat ini waktu akan menggiringmu menemui takdir yang seharusnya - Nadir 

Pagi itu, jarum jam menunjukkan pukul 05.45 WIB, namun mentari masih enggan menampakkan kemilaunya. Bantalan awan masih setia dengan kuncup-kuncup gelapnya.  Genangan air terlihat jelas membasahi beberapa sudut kota meski kabut tipis masih berkelabatan menyamarkan pandangan mata.

Sisa hujan semalam masih meninggalkan awan hitam di seputaran angkasa, juga jejak gerimis yang tak kunjung reda. Jalanan kota masih nampak lengang, hanya satu dua orang berlalu lalang. Mereka ini jelas orang-orang rajin, saat yang lain masih tenggelam di balik selimut mereka justru mengalahkan ego untuk sekedar berleha-leha. Suasana serasa syahdu, tak ayal mampu menghipnotis siapa saja untuk melanjutkan mimpi indahnya yang sempat terputus.

Seorang gadis nampak mengerjapkan mata berkali-kali di atas kasur busa di balik sebuah apartemen, tangannya berusaha mengucek-mengucek kedua bola mata yang masih saja tertutup rapat. Rasa-rasanya tak mau diajak kompromi untuk bangun dari bayang-bayang malamnya. Perlahan, ia kibaskan selimut yang melingkari tubuhnya, hawa dingin pun menyeruak di antara tulang-tulang putihnya, membuat ia bergidik geli. 

Tak lama, ia paksakan jemari kakinya untuk turun dari ranjang, menguncir rambut sekenanya lantas melangkah gontai menuju kamar kecil. Usai membasuh rupa, baru nyawanya benar-benar hidup tidak lagi menerawang ke alam bawah sadar. Dengan baju tidur usang yang masih menempel, ia berjalan menuju dapur mininya, menyeduh segelas teh hangat juga sepiring roti tawar. Lantas duduk menatap keluar jendela. Sunyi rasanya.

Nadir Allecia Winata, sebuah simbol nama yang terpampang jelas di cover buku diary, di meja kecil samping gadis itu. Ya, Nadir panggilan akrab gadis yang tengah menyesap secangkir teh hangat itu. Ia adalah salah satu mahasiwa semester akhir di sebuah universitas negeri, sebut saja di sebuah kota bernama S. Tiga tahun sudah ia mengadu hidup di kota orang, jauh dari kampung halaman, jauh dari bapa bundanya. Ia dikenal sebagai gadis introvert namun punya segudang pengalaman. Baginya, tidak mudah hidup dalam kesendirian, dituntut untuk mengerti diri sendiri kapanpun dan dimanapun. 

Lembar demi lembar perjalanan selaksa rangkaian episode yang mewarnai kehidupannya. Tentang perjuangan, mimpi, kisah asmara, persahabatan, dan kisah kasih perkuliahan yang nyatanya silih berganti menguji kesetiaannya pada masa depan. Masa depan yang ia gadang-gadangkan semenjak ia masih duduk dibangku SMP. Ya, menjadi penulis terkenal. Ia tidak lahir dari orang tua yang punya kekayaan tujuh turunan tak pernah habis. Ia hanya lahir dari sepasang tua dengan rumah lantai sederhana, dimana seharusnya memimpikan putri kecilnya menjadi seorang dokter namun justru tak terbersit sedikitpun dalam benaknya untuk berharap demikian.

Segelas teh telah habis disesapnya, pun sepiring roti tawar telah ludes dikunyahnya. Sepintas ia raih benda tipis yang tergeletak di samping diarynya. Sebaris pesan segera terpampang di layarnya.

From : Nala

"Gue tunggu di gerbang belakang apartemen lo setengah jam lagi, kita pergi ke perpustakaan,"

To: Nala

"Ok"

Balasan singkat pun sukses terkirim menjawab pesan dari layar tipis itu. 

Nala, dia adalah salah satu teman terdekat Nadir, bukan hanya teman satu kampus, ia juga teman satu kota. Mereka sama-sama merantau untuk melanjutkan kuliah juga mengambil jurusan yang sama, Sastra Indonesia. Memangnya apa gunanya perempuan kuliah tinggi-tinggi? Toh, nantinya cuman ngurus anak. Ocehan-ocehan inilah yang pernah kali mengiringi keberangkatan mereka, tiga tahun yang lalu. Kuliahmu itu cuman mau bebanin orang tua, ya kalau jadi dokter gapapa, lha ini jurusannya nggak jelas gimana masa depannya. Dan masih banyak lagi omong kosong dari tetangga samping rumahnya. Tak tahu apa-apa namun berbicara sekenanya. Parah memang, gimana mau maju kalau orang Indonesia pikirannya begitu. 

Namun, Nadir tak pernah menggubris hal semacam itu. Ia tak mau menodai otaknya dengan perkataan yang primitif. Baginya, kesuksesan sejati adalah balasan terbaik untuk membungkam para provokator. 

Ia letakkan handphone sekenanya, lalu bangkit menyambar gelas dan piring bekas sarapannya lantas mencucinya. Tak lama kemudian, ia mengambil handuk, lantas mandi dan berpakaian sekenanya. "Yang penting sopan" Itulah jawaban dari mulutnya, suatu ketika ditanya soal fashion oleh teman-temannya.  

Nadir memang dikenal cuek dan sederhana. Dilihat dari pakaiannya saja jelas dia bukanlah gadis feminim, namun ia selalu menjadi primadona kampus. Rambutnya yang tergerai panjang dan lurus, tubuhnya yang ramping tinggi, bola matanya yang jernih kecoklatan, kulitnya yang putih bersih, dan bibirnya yang merah ranum seharusnya mampu mendefinikan kecantikannya. Walaupun ia adalah gadis yang lahir dari keluarga sederhana ia selalu tampil mempesona, bukan hanya dengan auranya namun juga dengan segala keberanian, kecerdasan, dan keaktifannya di berbagai kegiatan kampus. Satu kampus tak mungkin tak ada yang mengenalnya. Bahkan, banyak lelaki yang berusaha memikat hatinya, sayangnya tak ada yang mampu menaklukkan hatinya yang berdinding balok es. 

Hari ini adalah hari Minggu. Itulah mengapa Nadir bisa sedikit bermalas-malasan, ia ingin sedikit melepaskan diri dari ranumnya tugas kuliah yang semakin bermekaran. Apalagi kini ia tengah menempuh semester akhir, bimbingan skripsi telah menganga di depan mata. Mungkin berbeda dengan sebagian besar orang yang memanfaatkan weekend dengan liburan ke pantai, Nadir justru melenggang pergi ke perpustakaan dekat kampus, berburu novel-novel baru lantas tenggelam dalam kisahnya yang kadang di luar logika. Baginya, membaca novel adalah self heeling paling mujarab.

Di luar, gerimis mulai reda. Jalanan mulai ramai oleh aktivitas manusia yang tiada henti. Mereka dengan tujuan masing-masing. Kendaraan telah kembali hilir mudik menguasai jalanan kota yang tidak terlalu lebar. Kini, Nadir tengah menunggu kedatangannya sahabatnya, Nala.

***

"Ah, kemana aja sih tu orang, kebiasaan deh telat mulu ..," batin Nadir mulai kesal.

Setengah jam sudah ia menunggu namun sosok yang dimaksud tidak juga kelihatan batang hidungnya. Baru setelah hampir 20 menit lewat dari jam perjanjian, nampak seorang gadis bertopi krem menaiki sepeda onthel muncul dari sudut jalanan kota, di punggungnya tersampir tas ransel hitam. Kemeja kotak-kotak yang sengaja tak dikancingnya berkibar-kibar diterpa angin yang berlawanan dari arah laju, menampakkan kaos putih bergambar kartun, selaras dengan jeans hitam longgar yang dipakainya. Meski tertutup topi, jelas rambutnya ikal panjang kecoklatan, sengaja dikucir kuda mungkin supaya tak mengganggu aktivitas. Dialah Nala.

" Lo kesini lewat tol mana? lama amat, sampai kesemutan nih kaki gue nungguin lo," sambar Nadir bahkan sebelum temannya itu memarkirkan sepedanya.

"Sorry, ngga ada bensin gue. Jadi, ya terpaksa gue pakai sepeda onthel, makanya agak lama. Yaudah yuk buruan naik," sahut Nala dengan nada sesantai-santainya tanpa merasa bersalah karena telah membuat sahabatnya itu menunggu terlalu lama.

" Alesan aja, lo. Paling juga tadi tidur lagi abis chat gue," ujar Nadir tak percaya. Namun, ia tetap saja naik ke jok belakang sepeda Nala, sebelum temannya itu kembali mengayuh sepeda bututnya, meninggalkan Nadir dengan sengaja dan membiarkannya berjalan kaki menuju perpustakaan.

" Diem, lo." sahut Nala cuek namun batinnya cekikian. Dari luar kedua sejoli ini memang nampak bodo amat namun sebenarnya mereka saling peduli. Sepeda onthel pun melaju di atas jalanan aspal yang masih semi basah bahkan di beberapa ruas, genangan air masih terlihat sungkan mengering. Sementara semburat mentari baru terlihat samar-samar mengenai permukaan bumi. 

***

NADIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang