20

77 8 117
                                    

"Kakak ipar terjatuh, kakinya terkilir!"Rizky segera menjelaskan

Imran bergegas mengambil alih tubuh istrinya, dan membawanya ke kamar, tak lupa ia menitahkan salah satu art untuk membawa minyak gosok dan menyusulnya ke kamar.

Dengan hati yang masih dibakar cemburu Imran menurunkan Dinda di ranjang dengan lembut.Dinda merasa sangat bersalah, ia sadar telah melukai hati suaminya.Tak lama kemudian seorang art yang berusia 40tahun masuk dan segera merawat kaki Dinda."Kenapa bisa jatuh?",tanya Imran dengan wajah datarnya

"Aku terburu-buru turun dari mobil Mas Rizky, karena takut ketinggalan maghrib!",jawab Dinda

"Kenapa bersama Rizky?, bukankah seharusnya bersama Zayn?",lagi Imran menginterogasi Dinda, sang artpun bisa merasakan ketegangan Dinda menghadapi pertanyaan-pertanyaan Imran.

"Mas Zayn harus mengantar Kirana pulang. Memangnya apa salahnya kalau aku pulang bersama mas Rizky, dia kan juga adikmu?",entah mendapat keberanian dari mana Dinda bertanya seperti itu?, namun sepertinya Dinda tidak benar-benar berani, terlihat dari caranya bicara yang tak berani menatap Imran.

Imran berusaha menasehati dirinya untuk tidak terbawa emosi yang bisa saja membuat Dinda semakin jauh darinya, ia menghela nafas beratnya. "Tidak ada yang salah!", jawabnya lalu megalihkan pembicaraan, "bagaimana?, apa sudah lebih baik?".

Dinda menggerakkan pergelangan kakinya, "lumayan!", jawabnya

"Tidak mungkin langsung sembuh mbak. Semoga saja besok bisa lebih baik!", ucap Art

"Iya Mbak Maera, terima kasih ya!", saut Dinda

"Sama-sama!", jawab Art bernama Maera itu, lalu pamit undur diri dan meninggalkan minyak gosok di nakas.

"Mau kemana?", tanya Imran saat melihat Dinda hendak turun dari ranjang.

"Mandi Mas!", jawab Dinda. Detik berikutnya tubuhnya sudah berada di gendongan Imran.

"Aku bisa berjalan sendiri!", Dinda merasa tidak nyaman.

"Kenapa tadi harus digendong Rizky?", saut Imran. Dinda menunduk merasa dihakimi suaminya.

"Tadi kan belum di pijat mbak Maera!", saut Dinda takut-takut

Bisa saja alasan istrinya itu, batin Imran, lalu kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar mandi dan mendudukkan tubuh Dinda ke pinggiran bathube. Dinda dan Imran sama-sama terdiam sesaat, Imran menunggu Dinda bersiap mandi sedang Dinda menunggu Imran keluar, hingga Imran menyadari keheningan istrinya. "Kenapa tidak mulai mandi?", tanya Imran.

"Mas Imran belum keluar!", jawab Dinda naif.

"Aku tidak akan keluar, sebelum kau selesai mandi!", saut Imran merasa benar.

"Aku tidak akan mandi kalau Mas Imran masih di sini!", tukas Dinda mulai jengkel.

"Ya sudah cuci muka saja!", saut Imran masih bersikap naif

"Mas Imran!", Dinda kesal karena Imran tak mengerti maksudnya.

"Apa istriku?", Imran malah mengoda Dinda.

"Jangan bercanda Mas, cepat keluar aku harus mandi!", gerutu Dinda.

"Aku tidak akan keluar Din, aku harus menjagamu. Aku tidak ingin kakimu semakin parah karena terpeleset!", saut Imran.

"Kau mendo'akan aku terpeleset?", Dinda berfikir buruk.

"Ya Tuhan istriku ini!, mana mungkin aku mendo'akanmu begitu buruk. Aku hanya khawatir kau terpeleset karena kakimu masih belum benar-benar sembuh!", Imran berusaha memberi Dinda pengertian.

Mengikuti TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang