“Aku ... aku ... tidak mau ikut. Aku masih muda, aku masih punya banyak sekali impian yang harus kucapai. Aku tidak mau ke sana, itu sama saja dengan pergi menemui musuh, mencari mati.” Ai berdiri, tapi pandangannya tunduk ke bawah. Tangannya bergerak gelisah.
“Aku setuju dengan Ai. Kita sama saja mencari mati. Aku tahu kamu memang seorang profesor yang banyak sekali ilmu dan suka meneliti banyak hal, tapi kami hanya rakyat biasa yang seharusnya diam di rumah dan membiarkan profesor yang menelitinya.” Wezen menghampiri Ai dan berdiri sejajar dengannya.
“Kalian tidak asyik! Katanya sahabat karib, kok kalian tidak mau ikut bersamaku dan Arthur? Bukankah sahabat itu selalu bersama setiap saat?” Zeen bersungut-sungut, menatap Wezen, Ai dan Ella bergantian.
“Aku ... sebenarnya ingin ikut, tapi—”
Ucapan Ella terhenti. Seketika Ai langsung menatap sahabat perempuannya itu dengan tanda tanya. Ai tahu Ella adalah gadis yang pemberani dan suka tantangan, tapi ... pergi ke Segitiga Bermuda? Itu bukan tantangan, tapi ingin cepat-cepat ke surga namanya.
KRING! KRING!
Suara nada dering telepon terdengar memenuhi langit-langit ruangan apartemen Zeen. Semua mata menoleh, mencari asal suara nyaring tersebut.
Seorang pria yang menyadari dan mengenali suara tersebut segera merogoh saku celananya. Itu Arthur.
Dia mengode Zeen, meminta izin mengangkat teleponnya terlebih dahulu. Zeen mengangguk. Arthur segera menjauh dari kerumunan tersebut, kemudian mengangkat teleponnya.
“Hallo, siapa?” Arthur menyapa dengan ramah.
“Oh, iya ....” Arthur tersenyum.
“Iya? Oh, baik, baik .... Sekarang? Iya? Baik .... Di rumahmu? Oh, jadi di mana? Oh .... Baik, aku segera ke sana .... Iya, kamu tunggu saja .... Oke.” Jika didengar, Arthur tampak seperti berbicara sendiri, padahal ada suara lain di seberang telepon.
Arthur meletakkan ponselnya di dalam saku kembali. Kemudian melirik, menatap kumpulan manusia yang kini tengah menatapnya aneh.
“Hei, kalian kenapa?” tanya Arthur.
“Ah, Prof. Kamu baru saja datang, tapi sudah pergi lagi. Padahal kamu jarang-jarang ke sini,” ucap Zeen menghela napas pelan.
“Ah. Maafkan aku, Teman-teman. Ini mendadak dan penting sekali. Aku harus pergi sekarang. Untuk rencana ekspedisi itu, nanti kita bicarakan lagi lewat pesan atau telepon. Aku sungguh meminta maaf.” Arthur menatap sobat karibnya dengan tatapan sedih. Tak hanya Arthur, keempat sahabatnya itu pun ikut menatap Arthur kecewa.
“Ya, baiklah, Prof. Aku tahu pertemuan itu pasti lebih penting daripada pertemuan ini,” ucap Wezen sambil berdiri dan mengancungkan jempol.
“Baiklah, aku pergi dulu, ya? Besok kita atur jadwal lagi. Semoga kalian tidak sibuk saat aku juga tidak sibuk.” Arthur berjalan mengambil tasnya yang berada di atas sofa.
“Kami selalu ada, Prof.” Ella menimpali. Ai hanya tersenyum menatap Arthur yang berjalan menuju pintu apartemen, hendak pergi.
“Hati-hati, Kawan.” Wezen menghampiri Arthur dan memeluknya. Zeen ikut mendatangi Arthur, tapi hanya menepuk pundaknya ramah.
“Sampai jumpa.”
Arthur keluar dari apartemen yang berada di lantai lima tersebut.
»»——❀——««
“Satu vote setara dengan bibit semangat untuk kami." ♡´・ᴗ・'♡
Ada kritik, saran, atau sesuatu yang ingin disampaikan? Please drop it in the comment. ✧(。•̀ᴗ-)✧
KAMU SEDANG MEMBACA
Bloody Triangle
Bilim Kurgu• Bloody Triangle • (a collaboration stories) Written by RiVeRa Terletak di perbatasan Miami, Kepulauan Bermuda, dan Puerto Rico, Bermuda Triangle atau yang biasa dikenal dengan nama Segitiga Bermuda masih menjadi salah satu misteri dunia. Apa yang...