Suami Sahabatku (bag 1)

2 1 0
                                    

Pukul 3 dini hari, aku terbangun. Tak kudapati suamiku --Mas Ibnu-- di sisiku lagi. Belakangan ini dia memang selalu terbangun saat pagi buta untuk sholat malam. Pernah kuintip kegiatan rutinnya itu di kamar sebelah. Ia terpekur begitu khusyu di atas sajadahnya. Sambil menangis memanjatkan dzikir dan doa. Seolah ada beban berat yang tengah ia hadapi yang ingin segera terurai.

Pernah kupancing obrolan untuk mengorek tentang permasalahan dirinya yang mungkin saja aku tidak tahu. Namun, ia hanya tersenyum dan berkata, bahwa dia baik-baik saja. Jawaban itu tak lantas membuatku puas sebab seringkali aku melihatnya bersedih kala sendiri. Ada apakah dengan dirinya? Mengapa ia tak mau berbagi beban masalah padaku? Aku kan istrinya.

"Mba Nina, Sasa nangis nih. Tadi habis jatuh," teriak anak tetanggaku di luar rumah.

Aku berjalan tertatih keluar rumah. Di teras sudah ada anak kesayanganku yang menangis dengan kaki berdarah dan lecet. Anak tetanggaku lalu pamit pulang setelah mengantarkan Sasa.

"Sasa, kok bisa jatuh? Lari-lari ya tadi?" tanyaku sambil memapahnya masuk ke rumah.

Gadis kecil itu menggeleng dengan air mata masih mengalir. "Aku didorong sama teman, Ma. Anaknya usil banget."

"Astaghfirullah. Ya udah dia jangan ditemani lagi kalau suka usil. Main sama Mama aja di rumah ya!"

Sasa mengangguk. Ia duduk tenang sambil menonton kartun kesukaannya saat kuobati luka di kaki.

"Ma, kaki Sasa gak akan sampai kayak Mama kan?" celetuknya polos dengan mata membulat menatapku.

Aku terkesiap. Ada rasa getir di hati.

"Ya enggak lah, Sayang. Kaki Sasa kan normal," jawabku lembut. Kuusap air matanya yang tersisa.

"Tapi kenapa tadi kata anak usil itu nanti kaki Sasa yang berdarah ini bisa pincang juga kayak Mama? Sasa gak mau pincang, Ma," ungkapnya sedih. Bibirnya melengkung ke bawah.

Rasa sedih semakin terasa di hatiku. Aku berusaha menutupinya dengan tersenyum walaupun kenyataannya kakiku memang pincang sejak lahir. Bahkan tangan kananku juga tidak bisa normal. Aku memiliki tubuh yang tak sempurna. Makan pun harus menggunakan tangan kiri. Untungnya Sasa tetap terlahir normal dengan tubuh sempurna.

Sudah biasa bagiku selama bertahun-tahun dipandangi dengan tatapan aneh oleh orang-orang. Aku menerima keadaanku dengan lapang dada setelah aku beranjak remaja dan lebih mendekatkan diri pada Yang Kuasa. Semua sudah jadi takdirku. Satu-satunya harapanku untuk memiliki tubuh normal sudah tak bisa. Namun, satu harapanku yang masih mungkin terwujud adalah hidup bahagia dengan dicintai seorang lelaki yang mau menerimaku apa adanya. Laki-laki baik itu adalah Mas Ibnu. Allah memberikannya padaku melalui seorang sahabat. Aku beruntung memilikinya.

Kini di tengah keresahanku tentang perilaku Mas Ibnu, aku pun bercerita lagi pada Dinda, sahabatku. Ia selalu mendengarkan keluh kesahku selama ini. Persahabatan kami terjalin sejak kami masih SMP hingga kami sudah berumah tangga.

"Sudahlah, Nita. Jangan terlalu dipikirkan. Selama dia masih baik padamu ya sudah," ujar Dinda melalui telepon. Kami berada di kota yang berbeda.

"Iya sih, tapi aku gak tenang jadinya. Sikapnya agak berbeda belakangan ini. Dia sering melamun dengan wajah murung. Aku khawatir."

"Mungkin dia sedang ada masalah di kantor. Mungkin dia gak mau ikutan pusing makanya gak mau cerita."

"Tapi, Din. Aku gak sengaja menemukan struk transferan uang kepada seorang perempuan di saku celananya waktu aku nyuci baju. Jumlahnya cukup besar. Bukan sekali tapi sudah beberapa kali dengan jumlah yang sama tiap bulan. Apa mungkin dia selingkuh di belakangku ya?" ungkapku pada akhirnya. Keresahanku yang lain selama ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 30, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Semangkuk SaladTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang