Chapter 32 - Di Balai Desa

31 7 0
                                    

Hampir setiap hari balai desa Bandaru selalu ramai oleh warga yang sibuk mengikuti pembelajaran kami. Sejak dua minggu mereka mulai bisa membaca, menulis, berhitung, bahkan membuat seni dan kerajinan. Ada empat kelas untuk saat ini, dua untuk kelompok dewasa dan dua lainnya untuk kelompok anak-anak. Karena itu tiap kelas hanya diajarkan oleh satu pengajar yang saat ini hanya empat orang—aku, Nanny, kakek Borhan, dan Charlie.

Ada kalanya aku merasa kewalahan karena punya tanggung jawab untuk kelasku yang terdiri dari dua puluh lima anak-anak berbagai usia, paling muda umur sepuluh tahun. Jangan harap ada balita yang turut ikut sekolah dadakan ini. Karena sesuai yang sudah disepakati, orang yang boleh mengikuti sekolah minimal usia sepuluh tahun. Beruntung kegiatan ini tidak berlangsung lama, maksimal sekitar tengah hari. Meskipun begitu, ada sebagian orang yang tampak melanjutkan belajar mandiri usai kegiatan sekolah. Yang diuntungkan, aku bisa rehat sejenak.

"Aku tidak menyangka semangat belajar anak-anak disini sangat tinggi," kata Nanny di sampingku. "Aku tidak tahu jumlah penduduk kalangan anak-anak di desa ini. Tetapi aku merasa kalau jumlah siswa di kelas kita bertambah tanpa sadar."

"Benar juga. Kemarin kita sudah pisahkan jadi dua kelas. Aku ingat betul jumlah siswa di kelas ada dua puluh. Lalu muncul lima anak tambahan entah darimana datangnya." Aku merasa tidak percaya.

"Kamu keberatan kalau kita bagi lagi berdasarkan jam masuk kelas? Jadi ada kelas pagi dan kelas siang. Tapi kita harus mengajar lebih lama sampai setidaknya sebelum petang."

Aku mendesah. "Apa tidak ada guru lain selain kita disini?"

"Disini beda dengan tempatmu tinggal. Anak-anak disini hanya belajar bela diri, berlatih sesuai mata pencaharian orang tua mereka, dan mengikuti kegiatan adat sini."

"Berarti ada semacam guru agama disini?"

"Aku tidak yakin soal agama di sini. Mereka lebih percaya adat yang sudah diwariskan sejak dulu. Soal sebaran agama dari luar masih sulit disini."

"Jadi... kamu sendiri pengikut agama apa? Atau kepercayaan apa?" tanyaku.

Nanny tampak bimbang. "Sebenarnya aku bingung sampai sekarang. Terlebih lagi waktu pertama kali sekolah di kota tempatmu tinggal. Waktu di sekolah pertama dulu, karena mengajarkan satu agama saja ya aku ikut-ikut saja."

"Kamu tinggal di sana dari SMA atau malah sejak SD?"

"Sejak SD, Sarah." Nanny memperjelas. "Ah, di SMP sudah beda lagi aturan itu. Ada kelas khusus untuk agama minoritas—selain agama utama di sekolah itu. Aku sedikit lega ketika akhirnya mengikuti kelas minoritas itu."

Aku justru semakin bingung. "Kamu ini sebenarnya lebih yakin ke agama mana sih? Kok seperti merasa punya dua agama sekaligus?"

"Apa bagus ya punya dua agama untuk satu orang?"

Tidak ada yang bisa menjawab, termasuk diriku. Di kota tempatku tinggal penduduknya dominan Muslim. Jadi di sekolah untuk mata pelajaran agama ya... diutamakan untuk kaum mereka. Sedangkan aku adalah pengecualian, agama minoritas. Tetapi seperti yang Nanny ucap, ada kelas bahkan sekolah khusus untuk orang seperti aku.

"Kalau disini masuk tahun 1942—mengingat kata Charlie dulu—seharusnya ajaran agama di pedesaan sudah kuat. Jadi aktivitas agama sudah terlihat di jaman itu termasuk adanya tempat ibadah," pikirku. "Tapi kenapa di kampung ini... masih primitif?"

"Jangan tanya padaku. Kakek aku lebih tahu soal itu."

Ah, kalau ini karena kebijakan dari kek Borhan, pantas kampung ini tidak berkembang.

oooooo

oooooo

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Meet The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang