28. Ujung Tombak Keberanian

43.9K 6.1K 200
                                    

"Lun, gue mau kasih ini..."

"Apa ini Tam?"

"Titipan dari Christ. Seminggu lalu sebelum dia pulang, Christ sempat nitipin ini ke gue, buat lo." Luna mengernyit, lalu mengambil bingkisan bertali pita apik itu.

"Dia minta ke gue buat kasih pas di ulang tahun lo, hari ini." Lanjut Tami membuat Luna tersenyum kecil.

Pagi sebelum Christ berangkat ke Australia beberapa hari lalu, dia  benar datang ke rumah Luna untuk berpamitan. Christ juga mengungkapkan permintaan maaf pada Luna, karna sudah lancang mencampuri urusan pribadinya.

Christ sadar, sedekat apapun ia dengan Luna, dia tetap tidak berhak mengatur hidup perempuan itu.

"Gimana gue bisa mengucapkan terima kasih ke Christ?" Tanya Luna, sembari menatap gaun berwarna peach yang Christ berikan.

"Nanti gue minta ke Elang buat kirim pesan ke dia. Lo perlu tahu, nomor gue juga diblock sama istri Christ. Gila banget kan?!" Seru Tami berapi-api.

"Ya udah lah Tam. Gue rasa, istri Christ punya alasan sampai harus kaya gini."

"Lo nggak tahu sih Lun, ceweknya tuh nggak banget! Duh, gue nggak ada foto tuh cewek lagi! Besok deh gue mintain ke Elang."

"Udah Tam, nggak usah. Nggak penting juga." Ujar Luna sembari tertawa.

"Ini kado dari gue sama Elang ya Lun, jangan dilihat dari harganya. Tapi gue harap lo suka."

"Kaya sama siapa aja sih Tam! Doain aja udah cukup, nggak perlu repot-repot gini."

"Gue selalu doain lo, nggak cuma di hari ulang tahun aja!" Celetuk Tami setelah berdecak pelan.

"Pokoknya, lo harus bahagia, sehat terus, lancar rejekinya dan cepat dapat jodoh!" Lanjut perempuan itu dengan bersemangat.

"Aamiin... Nggak perlu ngebet minta jodoh sih, yang penting gue nggak dibenci orang." Sela Luna sendu membuat Tami ikut berkaca-kaca.

Perempuan itu memeluk tubuh sang sahabat dengan sangat erat. Hingga mereka larut dalam tangisnya masing-masing.

"Gue tahu ini berat. Gue bahkan capek ngeyakinin diri lo untuk kuat.. Tapi Lun, buat gue persahabatan kita itu segalanya."

"Lo boleh cerita apapun, lo boleh berbagi setiap luka yang lo rasain sama gue. Jangan pernah anggap gue orang lain Lun," Ujar Tami dengan sungguh-sungguh.

"Thanks ya Tam, lo baik banget.. Gue nggak tahu gimana nasib gue, kalo nggak punya sahabat kaya lo!"

"Udah-udah, stop melow-melownya! Tuh kayanya di depan Elang udah jemput. Gue pamit pulang ya, sekalian gue mau minta mbak Tin buat bungkus nasi kuningnya."

"Iya deh! Udah sana bungkus yang banyak. Sekali lagi, makasih udah repot-repot bikin perayaan kecil di sini.

"Iya, pamit ya! Sampai ketemu besok pagi di Restoran." Seru Tami lalu keluar cepat dari kamar Luna.

_________________


Luna berjalan pelan ke arah kamar Robi, tak lupa membawa sepotong kue dengan sebuah lilin menyala di atasnya.

Hari ini, adalah hari ulang tahun perempuan itu. Tidak jauh dengan tanggal ulang tahun sang papa minggu lalu.

Luna menghela nafas panjang, sembari menatap sendu pada bingkai foto Robi.

"Papa... Papa nggak lupa kan kalau hari ini ulang tahun Luna?" Monolognya pada foto Robi di atas meja.

"Papa nggak mau datang tiup lilin sama Luna." Semakin ditahan, air mata itu semakin deras mengalir. Luna sadar, terlalu banyak hari yang ia lewatkan tanpa Robi.

Sepaket Luka & Obatnya (Versi benar)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang