"Shaf, udah apa nangisin gebetannya. Itu mata udah bengep gitu, kayak lo begadang udah seribu tahun lamanya," celetuk Razan, yang sedang memakan keripik dengan santai di sebelahnya.
Shafa yang sudah lelah menangis pun, berusaha mencoba memberhentikan tangisannya. Usahanya berhasil, walaupun ia masih sesegukan.
"Anjir, Kak. Lo gatau aja sih, rasanya gimana. Bayangin aja, lo udah deket sama dia nih. Eh tiba-tiba, dia malah jadian sama temen yang udah lo anggep kayak sahabat lo sendiri. Kan tai," balas Shafa sambil menghapus sisa-sisa air mata yang ada di pinggir bulu mata lentiknya itu.
Razan yang mendengar balasan Shafa, mencoba menenangkannya. "Yaelah, gue emang gatau apa-apaan tentang pacaran dan segala tetek-bengeknya. Tapi seenggaknya, gue pernah ngerasain jatuh cinta. Udahlah, gebetan kayak gitu masih aja ditangisin."
"Jatuh cinta? Sama siapa? Kok gue gatau? Parah banget najis emang. Gitu ya, gak pernah cerita-cerita. Padahal mah gue cerita mulu sama lo," sungut Shafa sambil mengerucutkan bibirnya.
"Au. Ntar juga tau. Udah ah, mau pulang gue," ujar Razan yang langsung dihadiahi tatapan puppy-eyes ala Shafa.
"Kak, jangan pulang dulu elah. Masih mau cerita-cerita gue. Masih sakit hati, nih. Please, ya? Besok gue traktir dah makan," mohon Shafa dengan tatapan puppy-eyes andalannya.
Razan--yang sudah dianggap seperti kakaknya sendiri--hanya bisa memutar bola matanya, ketika melihat kelakuan adik yang ia sayang memohon kepadanya.
"Yaudah."
Langsung saja, Shafa melanjutkan ceritanya yang belum selesai. "Ish anjir dah nih, Kak. Kesel banget hih. Rasanya tuh kayak pengen bilang gini ya ke sahabat--eh salah mantan sahabat maksudnya. 'Kalau mau nikung tuh ya di pengkolan, bukannya di sahabat. Tai,'. Abis itu pengen gue giniin, 'Kayaknya gapernah les balap, deh. Tapi, kok jago banget nikungnya?'. Najis, kesel banget gue. Kang kipak, anjir. Bilangnya mau ngedeketin gue sama doi, pas udah deket malah dianya yang jadian."
Yang diajak bicara pun hanya terdiam, bingung mau menjawab bagaimana.
"Kak."
"Apaan?" jawab Razan cuek.
"Peluk dong, lagi sedih gue," pinta Shafa dengan manjanya.
"Najis."
Namun, Razan tetap memeluk Shafa.
Apaan aja buat lo gue lakuin, yang penting lo seneng, batin Razan yang sedang tersenyum diam-diam ketika Shafa membalas pelukannya.
---
Shafa yang sedang asik-asiknya tidur, terbangun secara tiba-tiba, karena ponselnya berbunyi.
"CEPETAN, ANJIR. SEKOLAH, BEGE. KAGA TURUN-TURUN GUE TINGGAL." Teriak si penelfon tanpa mengucap salam sama sekali di seberang.
Shafa yang sedang dalam keadaan setengah sadar, langsung menjauhkan ponsel dari telinganya.
Wanjir, sampe lupa kalau hari ini sekolah, batin Shafa yang langsung buru-buru mematikan sambungan telepon secara sepihak di antara mereka berdua.
Sepuluh menit kemudian, Shafa sudah sampai didepan rumah dengan seragam yang sudah melekat di tubuhnya.
"Lama banget, anjir. Masih untung gue baik, mau nungguin lo," cecar Razan kesal.
"Anjir, bawel. Udah cepet ini. Caw, lah."
---
Razan memasuki kelasnya dengan terburu-buru, karena bel sudah berbunyi. Untungnya, ia tidak telat sampai ke kelasnya.
YOU ARE READING
Begin Again [1/1]
Teen Fiction"... Jujur, gue emang gak bisa menjanjikan apapun buat lo. Tetapi, gue bakal berusaha buat lo bahagia terus." cover made by: expellianmus Copyright © 2015 by yasmin